Peran Perempuan dalam Masyarakat Tradisional
Oleh : Trisna Nurdiaman
1. Kepercayaan dalam Budaya Tradisional terhadap
Perempuan
Budaya
tradisional mempunyai pandangan tersendiri terhadap perempuan, terutama di
Indonesia. Perempuan sering disimbolkan sebagai bumi atau hamparan tanah.
Mungkin kita juga sudah tidak asing lagi dengan istilah “ibu pertiwi”. Ibu
pertiwi adalah sebutan lain bagi bumi yang berarti sama dengan Dewi Sri.[1] Bahkan
dalam sebuah naskah lama, Atharvaveda menyebutkan bahwa “Perempuan
datang sebagai sebidang lahan hidup dan taburkanlah benih kedalamnya, oh para
laki-laki”.
Dalam
masyarakat petani seperti di suku Sunda, Jawa dan Bali perempuan sangat
dihormati. Masyarakat petani tradisional umumnya mempercayai Dewi Sri sebagai
sumber kehidupan. Dewi Sri diasosiasikan sebagai simbol padi. Ia dipandang
sebagai salah satu Dewa yang mengisi biji padi dan kemudian menjadi beras. Oleh
karena itulah terdapat kepercayaan dalam masyarakat petani tradisional tentang
pantangan menyia-nyiakan beras, karena hal tersebut berarti menyepelekan Dewi
Sri.
Di sebagian
petani Jember dan Ponorogo Jawa Timur, dalam upacara kebo-keboan
laki-laki dipersonifikasikan sebagai kerbau yang akan selalu mengolah kesuburan
yang disimbolkan oleh perempuan. Biasanya dalam setiap upacara yang berpautan
dengan proses produksi padi, Dewi Sri sering ditampilkan sebagai figur sentral.
Dewi Sri dianggap sangat penting, terhormat, dipuja, dielu-elukan dan
dikeramatkan. Sesaji, mantra-mantra, dan persembahan yang lainnya selalu hadir
mengikuti proses produksi padi baik sejak menanam benih, ketika padi sedang
hamil dan sesudah panen.
Dalam mitologi
Masyarakat Sunda, Dewi Sri lahir dari sebutir telur yang berasal dari titik
airmata Dewa Anta yang menangis sedih karena tidak dapat berpartisipasi dalam
mendirikan Balai Pertemuan para Dewa. Karena kecantikan Sri yang tidak
tertandingi, Bethara Guru jatuh cinta dan ingin mengawininya tetapi dapat
digagalkan oleh dewa yang lain dengan cara membunuh Sri dan menguburnya di
bumi. Beberapa hari kemudian dari kuburan Sri tumbuh kelapa (dari kepalanya),
padi biasa dari (dari matanya), padi ketan (dari dadanya), pohon enau (dari
kemaluannya) dan rerumputan dari bagian yang lain.[2]
Simbolisasi
perempuan sebagai bumi sebenarnya hampir terjadi diseluruh masyarakat dunia.
Relasi bumi-peremuan yang sama-sama menjadi objek eksploitasi ini dapat
dilacak, misalnya dari berbagai mitos, legenda, dan pendapat yang
mensimbolisasikan bumi sebagai ibu dan perempuan. Misalnya seperti Jalaludin
Rumi dalam Mastnawi yang melukiskan bumi sebagai perempuan. Kemudian
paradigma Taoisme di Cina yang melukiskan bumi sebagai “yin” (perempuan,
feminim).[3] Dalam
pandangan Francis Bacon, tujuan sains adalah untuk menguasai, mengendalikan dan
menaklukan alam. Menurutnya alam harus diburu dalam pengembaraannya, diikat
dalam pelayanan, dan dijadikan budak. Pada akhirnya, baik bumi maupun perempuan
sama-sama menjadi objek eksploitasi. Oleh karena itu munculah gerakan
eko-feminis yang mencoba mendefinisikan kembali makna kesucian, serta
mensakralisasikan ulang bumi, manusia dan kehidupan sehari-hari.
2. Pembagian Kerja dalam Masyarakat Tradisional
Beberapa
literatur terkadang menyimpulkan secara tidak tepat tentang peranan perempuan
yang selalu berkutat di wilayah domestik.[4]
Pernyataan tersebut tidak sesuai dengan fakta empiris yang ada dimasyarakat.
Tidak hanya dalam masyarakat modern, dalam masyarakat tradisional pun sebenarnya
perempuan sudah dilibatkan untuk ikut membantu pekerjaan laki-laki di wilayah
publik, terutama dalam masyarakat petani. Dalam proses produksi padi biasanya
laki-laki bertugas sebagai pengolah tanah (mencangkul) dan penabur benih,
sementara perempuan bertugas sebagai penanam padi dan pemeliahara kelangsungan
padi tersebut. Pembagian kerja tersebut sebenarnya berkaitan dengan mitos Dewi
Sri tentang asal usul padi.
Hal yang hampir
senada juga dinyatakan oleh Ester Boserup. Ia menolak generalisasi Margaret
Mead (Antropolog) yang menyimpulkan bahwa dalam setiap masyarakat pekerjaan di
wilayah domestik selalu dimonopoli oleh perempuan, sementara peran produktif
merupakan hak prerogratif laki-laki. Generalisasi tersebut menurutnya bersifat
spekulatif dan meragukan. Pada hakekatnya dapat diadakan pembedaan penting
antara dua jenis pola pertanian untuk konsumsi sendiri (subsistensi), yaitu produksi
bahan makanan oleh wanita (female farming system) dan produksi bahan
makanan oleh pria (male farming system).[5] Dalam female
farming, perempuan bekerja lebih banyak dan laki-laki hanya sekedar
membantu sedikit. Sementara dalam male farming laki-laki bekerja lebih
banyak dan tugas perempuan hanya sekedar membantu saja.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Ester Boserup, di Afrika wanita lebih banyak
bekerja di ladang dari pada pria. Di Amerika Latin dan Di Asia Barat, bagian
terbesar pekerjaan bertani dilakukan oleh laki-laki. Sementara pembagian kerja
pertanian di Asia Tenggara relatif seimbang.
Pada banyak suku-suku Afrika, hampir semua
tugas yang berhubungan dengan produksi bahan makanan tetap diserahkan kepada
kaum wanita.[6] Kebanyakan
suku-suku tersebut menjalankan sistem pertanian berpindah-pindah (shifting
cultivation). Ketika kesuburan tanah mulai berkurang, maka mereka akan
berpindah ke area lain yang lebih subur. Untuk membuka lahan baru, laki-laki
bertugas menebang pohon-ponon, dan membersihkan semak belukar. Selebihnya
pekerjaan dibebankan kepada wanita.
Perkerjaan yang dibebankan kepada wanita tersebut meliputi pembuangan
serta pembakaran tebangan pohon, pembenihan dan penanaman dalam abunya,
penyiangan, memanen serta mengangkutnya ke lumbung. Pekerjaan pria meliputi
penebangan pohon, berburu dan berperang. Namun, lambat laun penebangan pohon
dan perburuan berkurang dan peperangan dicegah oleh kolonialis Eropa.
Orang-orang Eropa yang terbiasa dengan sistem pertanian oleh pria merasa heran
dengan pembagian kerja tersebut, sehingga mereka memandang pria Afrika sebagai
pemalas.
[3] Sukidi, Jurnal Perempuan : Spiritualitas
Feminis dalam Gerakan New Age. (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2001),
h. 8
[4] Aida Vitayala S. Hubeis menyebutkan bahwa peranan
perempuan Indonesia adalah seorang istri, ibu rumah tangga dan seorang ibu
rumah tangga. Ketiganya sama-sama berada diwilayah domestik. Ibid., h. 91
[5] Ester Boserup, Peranan Wanita dalam Perkembangan
Ekonomi. Terjemahan Mien Joebhar & Sunato. (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1984), h. 4
0 comments: