Peran Perempuan dalam Masyarakat Tradisional

19:58 Zilenial School 0 Comments

Oleh : Trisna Nurdiaman



1.      Kepercayaan dalam Budaya Tradisional terhadap Perempuan
Budaya tradisional mempunyai pandangan tersendiri terhadap perempuan, terutama di Indonesia. Perempuan sering disimbolkan sebagai bumi atau hamparan tanah. Mungkin kita juga sudah tidak asing lagi dengan istilah “ibu pertiwi”. Ibu pertiwi adalah sebutan lain bagi bumi yang berarti sama dengan Dewi Sri.[1] Bahkan dalam sebuah naskah lama, Atharvaveda menyebutkan bahwa “Perempuan datang sebagai sebidang lahan hidup dan taburkanlah benih kedalamnya, oh para laki-laki”.
Dalam masyarakat petani seperti di suku Sunda, Jawa dan Bali perempuan sangat dihormati. Masyarakat petani tradisional umumnya mempercayai Dewi Sri sebagai sumber kehidupan. Dewi Sri diasosiasikan sebagai simbol padi. Ia dipandang sebagai salah satu Dewa yang mengisi biji padi dan kemudian menjadi beras. Oleh karena itulah terdapat kepercayaan dalam masyarakat petani tradisional tentang pantangan menyia-nyiakan beras, karena hal tersebut berarti menyepelekan Dewi Sri.
Di sebagian petani Jember dan Ponorogo Jawa Timur, dalam upacara kebo-keboan laki-laki dipersonifikasikan sebagai kerbau yang akan selalu mengolah kesuburan yang disimbolkan oleh perempuan. Biasanya dalam setiap upacara yang berpautan dengan proses produksi padi, Dewi Sri sering ditampilkan sebagai figur sentral. Dewi Sri dianggap sangat penting, terhormat, dipuja, dielu-elukan dan dikeramatkan. Sesaji, mantra-mantra, dan persembahan yang lainnya selalu hadir mengikuti proses produksi padi baik sejak menanam benih, ketika padi sedang hamil dan sesudah panen.
Dalam mitologi Masyarakat Sunda, Dewi Sri lahir dari sebutir telur yang berasal dari titik airmata Dewa Anta yang menangis sedih karena tidak dapat berpartisipasi dalam mendirikan Balai Pertemuan para Dewa. Karena kecantikan Sri yang tidak tertandingi, Bethara Guru jatuh cinta dan ingin mengawininya tetapi dapat digagalkan oleh dewa yang lain dengan cara membunuh Sri dan menguburnya di bumi. Beberapa hari kemudian dari kuburan Sri tumbuh kelapa (dari kepalanya), padi biasa dari (dari matanya), padi ketan (dari dadanya), pohon enau (dari kemaluannya) dan rerumputan dari bagian yang lain.[2]
Simbolisasi perempuan sebagai bumi sebenarnya hampir terjadi diseluruh masyarakat dunia. Relasi bumi-peremuan yang sama-sama menjadi objek eksploitasi ini dapat dilacak, misalnya dari berbagai mitos, legenda, dan pendapat yang mensimbolisasikan bumi sebagai ibu dan perempuan. Misalnya seperti Jalaludin Rumi dalam Mastnawi yang melukiskan bumi sebagai perempuan. Kemudian paradigma Taoisme di Cina yang melukiskan bumi sebagai “yin” (perempuan, feminim).[3] Dalam pandangan Francis Bacon, tujuan sains adalah untuk menguasai, mengendalikan dan menaklukan alam. Menurutnya alam harus diburu dalam pengembaraannya, diikat dalam pelayanan, dan dijadikan budak. Pada akhirnya, baik bumi maupun perempuan sama-sama menjadi objek eksploitasi. Oleh karena itu munculah gerakan eko-feminis yang mencoba mendefinisikan kembali makna kesucian, serta mensakralisasikan ulang bumi, manusia dan kehidupan sehari-hari.

2.      Pembagian Kerja dalam Masyarakat Tradisional
Beberapa literatur terkadang menyimpulkan secara tidak tepat tentang peranan perempuan yang selalu berkutat di wilayah domestik.[4] Pernyataan tersebut tidak sesuai dengan fakta empiris yang ada dimasyarakat. Tidak hanya dalam masyarakat modern, dalam masyarakat tradisional pun sebenarnya perempuan sudah dilibatkan untuk ikut membantu pekerjaan laki-laki di wilayah publik, terutama dalam masyarakat petani. Dalam proses produksi padi biasanya laki-laki bertugas sebagai pengolah tanah (mencangkul) dan penabur benih, sementara perempuan bertugas sebagai penanam padi dan pemeliahara kelangsungan padi tersebut. Pembagian kerja tersebut sebenarnya berkaitan dengan mitos Dewi Sri tentang asal usul padi.
Hal yang hampir senada juga dinyatakan oleh Ester Boserup. Ia menolak generalisasi Margaret Mead (Antropolog) yang menyimpulkan bahwa dalam setiap masyarakat pekerjaan di wilayah domestik selalu dimonopoli oleh perempuan, sementara peran produktif merupakan hak prerogratif laki-laki. Generalisasi tersebut menurutnya bersifat spekulatif dan meragukan. Pada hakekatnya dapat diadakan pembedaan penting antara dua jenis pola pertanian untuk konsumsi sendiri (subsistensi), yaitu produksi bahan makanan oleh wanita (female farming system) dan produksi bahan makanan oleh pria (male farming system).[5] Dalam female farming, perempuan bekerja lebih banyak dan laki-laki hanya sekedar membantu sedikit. Sementara dalam male farming laki-laki bekerja lebih banyak dan tugas perempuan hanya sekedar membantu saja.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ester Boserup, di Afrika wanita lebih banyak bekerja di ladang dari pada pria. Di Amerika Latin dan Di Asia Barat, bagian terbesar pekerjaan bertani dilakukan oleh laki-laki. Sementara pembagian kerja pertanian di Asia Tenggara relatif seimbang.
Pada banyak suku-suku Afrika, hampir semua tugas yang berhubungan dengan produksi bahan makanan tetap diserahkan kepada kaum wanita.[6] Kebanyakan suku-suku tersebut menjalankan sistem pertanian berpindah-pindah (shifting cultivation). Ketika kesuburan tanah mulai berkurang, maka mereka akan berpindah ke area lain yang lebih subur. Untuk membuka lahan baru, laki-laki bertugas menebang pohon-ponon, dan membersihkan semak belukar. Selebihnya pekerjaan dibebankan kepada wanita.  Perkerjaan yang dibebankan kepada wanita tersebut meliputi pembuangan serta pembakaran tebangan pohon, pembenihan dan penanaman dalam abunya, penyiangan, memanen serta mengangkutnya ke lumbung. Pekerjaan pria meliputi penebangan pohon, berburu dan berperang. Namun, lambat laun penebangan pohon dan perburuan berkurang dan peperangan dicegah oleh kolonialis Eropa. Orang-orang Eropa yang terbiasa dengan sistem pertanian oleh pria merasa heran dengan pembagian kerja tersebut, sehingga mereka memandang pria Afrika sebagai pemalas.



[1] Bisri Effendy & Novi Anoegrajekti, Perempuan dalam Ritual. (Jakarta: Srinthil, 2004) h. 26
[2] Ibid., h. 10
[3] Sukidi, Jurnal Perempuan : Spiritualitas Feminis dalam Gerakan New Age. (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2001), h. 8
[4] Aida Vitayala S. Hubeis menyebutkan bahwa peranan perempuan Indonesia adalah seorang istri, ibu rumah tangga dan seorang ibu rumah tangga. Ketiganya sama-sama berada diwilayah domestik. Ibid.,  h. 91
[5] Ester Boserup, Peranan Wanita dalam Perkembangan Ekonomi. Terjemahan Mien Joebhar & Sunato. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), h. 4
[6] Ibid., h. 5

You Might Also Like

0 comments: