EKONOMI DAN GENDER : (Pembagian Status dan Peranan antara Laki-laki dan Perempuan dalam Keluarga)

19:20 Zilenial School 1 Comments

EKONOMI DAN GENDER :
(Pembagian Status dan Peranan antara Laki-laki dan Perempuan dalam Keluarga) 
Oleh : Trisna Nurdiaman



Pada hakikatnya, manusia dilahirkan dengan naluri untuk selalu hidup bersama dengan manusia yang lainnya (gregariousness). Manusia adalah makhluk sosial (homo socius) yang tidak bisa memenuhi segala apa yang menjadi keinginan dan kebutuhannya secara individual. Dalam rangka menghadapi alam sekeliling, manusia harus hidup berkawan dengan manusia-manusia lain dan pergaulan tadi akan mendatangkan kepuasan bagi jiwanya.[1] Oleh karena itu dalam rangka untuk memenuhi hajat hidupnya, manusia membentuk kelompok-kelompok sosial yang salah satunya adalah keluarga.
Keluarga merupakan suatu entitas kelompok sosial terkecil dalam masyarakat yang terbentuk karena adanya ikatan kerjasama antara seorang laki-laki dan perempuan untuk memenuhi hajat hidup bersama melalui berbagai aktivitas rumah tangga. Di dalamnya terdapat sistem dan struktur sosial yang mengatur bagaimana proses kerjasama upaya pemenuhan kebutuhan tersebut berlangsung. Keluarga sebagai kelompok sosial memiliki lima ciri yang mendasarinya, yaitu: pertama, adanya kesadaran pada setiap anggota kelompok bahwa dia merupakan bagian dari kelompok tersebut; Kedua, adanya hubungan timbal balik andanya anggota yang satu denga anggota yang lain; Ketiga, adanya suatu faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antara mereka bertambah erat; Keempat, mempuanyai struktur, berkaidah dan memiliki pola perilaku; Kelima, bersistem dan berproses. Dengan demikian, terbentuknya suatu kelompok sosial keluarga selalu dibarengi dengan pembentukan sistem dan struktur sosial yang mengatur pola relasi sosial diantara para anggotanya dalam keluarga.
Ekonomi sebagai pengelolaan rumah tangga adalah suatu usaha dalam pembuatan keputusan dan pelaksanaannya yang berhubungan dengan pengalokasian sumberdaya rumah tangga yang terbatas diantara berbagai anggotanya dengan mempertimbangkan, kemampuan, usaha dan keinginan masing-masing[2]. Proses ekonomi sendiri secara garis besar terbagi kedalam tiga jenis, yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. Dalam rangka menjalankan aktivitas ekonomi tersebut, maka dibuatlah pembagian status dan peran bagi setiap anggota keluarga. Pembagian status dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga pada setiap masyarakat bersifat relatif atau berbeda-beda, tergatung situasi, kondisi sosial, adat istiadat dan ideologi yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Jessie Benard dalam The Future of Marriage (1972/1982) menganalisis perkawinan sebagai suatu sistem budaya dari kepercayaan-kepercayaan dan ideal-ideal, susunan institusional peran-peran dan norma-norma, dan suatu kompleks pengalaman-pengalaman interaksional bagi wanita dan pria individual[3]. Secara kelembagaan, perkawinan memperkuat peran laki-laki dengan otoritas dan kebebasan yang diberikan kepadanya yang mana di dalamnya terdapat pertautan ide otoritas jantan dengan ketangguhan seksual dan kekuasaan jantan. Hal tersebut pada akhirnya membuat istri selalu mengalah, bergantung, mengosongkan diri, serta kegiatan-kegiatan dan tuntutan-tuntutan yang diberikan kepadanya berpusat di area domestik yang terisolasi.
Pembagian status dan peranan yang didasarkan atas perbedaan jenis kelamin tersebut dilakukan karena adanya anggapan bahwa terdapat perbedaan kemampuan, keterampilan dan kekuatan fisik antara laki-laki dan perempuan. Misalnya pada masyarakat Indonesia, umumnya status sosial laki-laki adalah sebagai kepala keluarga, sementara status perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga. Pembagian status dan peranan tersebut biasanya berimplikasi pada pembagian wilayah kerja diantara keduanya dimana laki-laki biasanya berkerja di sektor publik sementara perempuan melakukan tugasnya di ranah domestik. Namun tentu saja hal tersebut tidak sepenuhnya benar dan tidak terjadi ada setiap masyarakat. Meskipun perempuan selalu diidentikan sebagai ibu rumah tangga yang katanya “selalu bekerja di ranah domestik” tapi pada kenyataannya banyak perempuan yang juga ikut bekerja disektor publik. Hal tersebut terjadi baik pada masyarakat modern maupun pada masyarakat tradisional, walaupun dengan intensitas yang berbeda.
Setiap masyarakat mempunyai konsepsi ideologisnya tersendiri dalam pembagian kerja yang didasarkan atas perbedaan jenis kelamin. Pada umumnya, pekerjaan yang didasarkan pada jenis kelamin  dalam masyarakat terbagi kedalam tiga jenis, yaitu : (1) pekerjaan yang dianggap lebih cocok untuk laki-laki, biasanya pekerjaan ini memerlukan kekuatan fisik yang besar seperti kuli bangunan; (2) pekerjaan yang dianggap lebih cocok untuk perempuan yang didasarkan atas “kepantasan” dan keahlian yang dimiliki oleh kaum perempuan seperti bidan, guru TK dan lain sebagainya; (3) pekerjaan yang bisa dilakukan oleh kedua jenis kelamin seperti dosen, wartawan, artis dan lain sebagainya. Dalam pembagian kerja yang didasarkan pada jenis kelamin tersebut, setiap masyarakat mempunyai konsepsi yang berbeda dalam mengklasifikasikan pekerjaan terdapat pada ketiga jenis pekerjaan tersebut. Hal tersebut bergantung pada nilai dan norma sosial yang berlaku pada masyarakat tersebut. Pembagian pekerjaan tersebut biasanya dianggap sesuai dengan kapasitas biologis, psikologis dan sosiologis yang dimiliki oleh keduanya. Secara umum, laki-laki sering dikonsepsikan sebagai manusia yang kuat, rasional, mempunyai keterampilan yang lebih tinggi dan mampu menghadapi pekerjaan yang memiliki resiko dan tingkat konsentrasi yang tinggi. sementara itu perempuan sering dikonsepsikan sebagai manusia yang lemah lembut, emosional dan mempuanyai keterampilan yang lebih rendah dibanding laki-laki.
Menurut penelitian George Peter Murdock, laki-laki lebih konsisten pada pekerjaan yang maskulin seperti memburu binatang, mengerjakan logam, melebur biji-biji, pekerjaan soldir, pertukangan kayu, membuat instrumen musik, menangkap dengan perangkap, mebuat kapal, pertukangan batu, mengerjakan tulang-tulang, tanduk dan kulit kering, menambang dan mengangkut. Semantara itu perempuan lebih konsisten pada pekerjaang yang dianggap feminim seperti mengumpulkan kayu bakar, mempersiapkan minuman, meramu, menyediakan bahan makanan, mencuci, mengambil air, memasak dan pekerjaan rumah tangga yang lainnya.
Pada awalnya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan relatif seimbang, namun karena secara biologis perempuan harus mengalami kehamilan, maka ditempatkanlah perempuan diranah domestik. Tugas perempuan yang menjalankan fungsi reproduksi manusia tersebut (hamil) dinilai berat dan tidak mungkin bisa dilakukan laki-laki, oleh karena itu perempuan selalu ditempatkan pada wilayah kerja yang dianggap ringan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ester Boserup pada tahun 1970, ternyata di Afrika, wanita bekerja di ladang lebih banyak dari pada laki-laki; di Amerika Latin dan Asia Barat, bagian terbesar pekerjaan bertani dikerjakan oleh kaum pria, sedangkan di Asia Tenggara pembagian kerja serupa tersebut relatif seimbang. Pada banyak suku-suku Afrika, hampir semua tugas yang berhubungan dengan produksi bahan makanan tetap diserahkan kepada kaum wanita[4]. Sebelum orang-orang Eropa datang, pekerjaan laki-laki pada kebanyakan suku-suku di Afrika adalah sebagai penebang pohon, berburu dan berperang, sementara perempuan lebih banyak berkerja di ladang. Lambat laun, pepohonan dan hewan buruan semakin lama semakin berkurang serta peperangan antar suku dicegah oleh dominasi Eropa. Hal tersebut mengakibatkan tak banyaknya sisa pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki di Afrika saat itu. Orang-orang Eropa yang sudah terbiasa dengan Male Farming System-nya memandang pria Afrika sebagai “pemalas” dan mereka tidak setuju dengan pembagian kerja yang tidak seimbang tersebut. Setelah itu kemudian para petugas penyuluh pertanian Eropa di banyak bagian Afrika berusaha menggerakan penduduk desa Pria Afrika yang setengah menganggur untuk menanam tanaman dagang untuk diekspor ke Eropa. Selain itu juga, para kolonialis Eropa juga menerapkan sistem perpajakan ke dalam bentuk per-orangan demi memaksimalkan produktivitas kerja para pria Afrika. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa status dan peranan yang biasanya melekat pada satu jenis kelamin tertentus sebenarnya bisa berubah tergantung situasi dan kondisi serta dapat dipertukarkan atau dimodifikasi.
Seperti yang kita ketahui, dalam sistem pertanian primitif perbedaan antara produktivitas kerja laki-laki dan perempuan bertumpu pada kekuatan fisik yang mereka miliki. Perbedaan produktivitas pertanian tersebut dianggap tidak akan terjadi apabila sistem pertanian sudah tidak bergantung lagi pada otot manusia. Namun kenyataanya setelah hal tersebut terjadi (modernisasi pertanian), produktivitas laki-laki tetap lebih tinggi dari pada perempuan. Hal tersebut terjadi karena kaum prialah yang lebih awal mempelajari dan menjalankan peralatan teknologi pertanian modern. Sementara wanita tetap bekerja pada peralatan yang masih tradisional. Hal tersebut membuat terjadinya pelebaran kesenjangan antara produktivitas laki-laki dengan produktivitas perempuan. Di semua negara berkembang dan dikebanyakan negara industri - kaum wanita melakukan pekerjaan-pekerjaan fisik yang sederhana dalam pertanian sedangkan peralatan peralatan jenis yang berdayaguna yang dipergerakan oleh hewan atau mesin, terutama digunkan oleh para pria. Seringkali pria menetapkan metode ilmiah modern dalam pertanian tanaman dagang, sedangkan isteri mereka melanjutkan pertanian bahan makanan dengan metode-metode tradisional.[5]
Berangkat dari adanya anggapan ketidakadilan dan ketidaksetaraan pembagian status dan peran, serta ketidakmerataan pengalokasian sumberdaya antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat mengakibatkan munculnya gerakan Feminisme. Feminisme sendiri adalah gerakan yang menuntut kesamaan status dan peran antara laki-laki dan perempuan. Mereka mengenalkan konseptualisasi gender sebagai variable deskriptif dan variable eksplanatoris untuk memberikan suatu gambaran yang mampu membedakan antara maskulinitas dan feminimitas biologis dengan maskulinitas dan feminimitas sosiologis. Dimulai pada tahun 1970-an, para teoritisi feminis memungkinkan orang untuk melihat pembedaan-pembedaan diantara : (a) atribut-atribut yang ditentukan secara biologis yang dihubungkan dengan laki-laki dan perempuan, dan (b) perilaku-perilaku yang dipelajari secara sosial terkait dengan maskulinitas dan feminimitas.[6] Menurut mereka, pri dan wanita disituasikan dalam di dalam masyarakat bukan hanya dengan cara yang berbeda tetapi juga dengan cara yang tidak setara. Wanita mendapat sumber-sumber daya material, status sosial dan peluang-peluang untuk aktualisasi yang lebih sedikit dari pada pria yang mempuanyai lokasi sosial yang sama dengan mereka, baik lokasi yang didasarkan pada kelas, ras, pekerjaan, etnisitas, agama, pendidikan, nasionalitas, atau persimpangan faktor-faktor itu. Ketidaksetaraan tersebut dihasilkan dari pengorganisasian masyarakat, bukan dari perbedaan biologis atau kepribadian yang signifikan antara laki-laki dan perempuan.[7] Setiap manusia memiliki kebutuhan yang mendalam atas kebebasan untuk mengusahakan aktualisasi diri kemungkinan fundamental dibentuk yang membuat mereka beradaptasi dengan paksaan-paksaan atau kesempatan-kesempatan siatuasi ketika mereka menemukan diri. Wanita secara situasional kurang diuntungkan apabila dibanding pria untuk mewujudkan kebutuhannya akan aktualisasi diri.
Menurut feminisme liberal, ketidaksetaraan gender merupakan sebuah hasil pemolaan berdasarkan seksi pembagian kerja. Mereka memandang gender sebagai sistem stratifikasi yang menghasilkan pembagian kerja bergender, suatu pengorganisasian masyarakat kedalam lingkup publik dan privat serta suatu dimensi kultural dari ideologis seksis.[8] Mereka berpandangan bahwa semua manusia mempunyai ciri-ciri esensial tertentu seperti kemampuan untuk bernalar, agensi moral dan aktualisasi diri. Pelaksanaan kemampuan-kemampuan tersebut dapat dilaksanakan melalui pengakuan hukum atas hak-hak universal. Ketidaksamaan-ketidaksamaan diantara pria dan  wanita yang diberikan oleh jenis kelamin adalah konstruksi-konstruksi sosial yang tidak mempunyai landasan di dalam alam. Perubahan sosial untuk kesetaraan dapat dihasilkan oleh suatu seruan terorganisir kepada publik yang dapat berpikir dan dengan memanfaatkan negara. Oleh karena itu, kesetaraan gender dapat dicapai dengan cara mengubah pembagian kerja melalui pemolaan kembali lembaga-lembaga kunci (lembaga hukum, kerja, keluarga, pendidikan dan media).
Sebenarnya perbedaan gender dalam masyarakat bukan merupakan suatu masalah. Namun yang menjadi titik tolak permasalah dari perbedaan tersebut adalah ketidakadilan yang ditimbulkannya, baik bagi kaum laki-laki maupun bagi perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut[9]. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti : marginalisasi, subordinasi, stereotipe gender, kekerasan dan benban kerja yang lebih panjang.
Proses marginalisasi yang dihasilkan oleh ketidaksetaraan gender biasanya menimpa satu jenis kelamin tertentu. Namun, karena kebanyakan ideologi gender yang dianut masyarakat umum adalah ideologi patriarki, maka kebanyakan proses marginalisasi tersebut terjadi pada perempuan. Dilihat dari sumbernya, proses marginalisasi tersebut berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan serta asumsi ilmu pengetahuan. Proses marginalisasi perempuan tidak saja terjadi ditempat pekerjaan, juga terjadi ditempat rumah tangga, masyarakat atau kultur bahkan negara.[10] Seringkali marginalisasi ini diperkuat dan dilegitimasi oleh adat istiadat dan tafsir agama.
Konsepsi gender juga sering kali menimbulkan subordinasi dan stereotip terhadap perempuan dimana mereka ditempatan pada posisi yang tidak penting dan kurang menguntungkan serta diberi pelabelan negatif. Perempuan sering dianggap irrasional dan bersifat emosional sehingga mereka dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk  tampil sebagai pemimpin dalam masyarakat. Salah satu stereotip gender yang terjadi ditengah masyarakat adalah dimana perempuan dipandang sebagai “perangkap setan”. Ada satu ungkapan yang mengatakan bahwa “setan menggoda melalui tiga cara, yaitu harta, tahta dan wanita”. Ungkapan tersebut memberikan label negatif bagi perempuan disejajarkan dengan harta dan tahta, serta mereka juga dipandang sebagai sesuatu yang mendekatkan manusia pada dosa-dosa. Pada zaman dahulu, masyarakat Jawa menganggap bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, “toh pada akhirya akan ke dapur juga”. Sehingga tidak aneh jika hal yang menyangkut pendidikan anak laki-laki selalu lebih diprioritaskan dari pada anak perempuan. Bahkan ada satu celotehan yang cukup menggelitik yang mengatakan bahwa “tugas wanita hanyalah di sumur, dapur dan kasur”. Bias gender yang terjadi dalam masyarakat juga sering kali mengakibatkan adanya kekerasan terhadap salah satu jenis kelamin yang dianggap lebih lemah. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut meliputi pemerkosaan, pemukulan, penyiksaan, pelacuran, fornografi, seterilasi KB dan lain sebagainya.
Meskipun wanita saat ini sudah mampu berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi di ranah publik, namun tetap saja kedua lingkungan (publik dan domestik) tersebut  masih dibentuk oleh ideologi patriarki dan seksisme yang juga masih meresap dalam sendi-sendi media massa kontemporer. Di satu sisi wanita menemukan pengalaman mereka di dalam lingkungan publik seperti pendidikan, kerja dan politik. Disisi yang lain di dalam lingkungan privat mereka mendapati diri dalam suatu “ikatan waktu” sewaktu mereka kembali kerumah, mereka harus bekerja kembali untuk mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga yang lainnya. Di kalangan keluarga miskin, wanita sering kali menanggung beban ganda dimana ia harus melakukan semua pekerjaan domestik serta membantu suaminya untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarga. Pekerjaan yang dilakukan perempuan di wilayah domestik sering kali dianggap lebih rendah, lebih ringan dan kurang produktif apabila dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki.
Manifestasi ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi ekonomi, subordinasi, kekerasan, stereotip dan beban kerja tersebut terjadi dalam setiap tingkatan mulai dari keluarga, adat istiadat, lingkungan kerja hingga negara. Pada tingkat keluarga, proses pengambilan keputusan, pembagian kerja serta interaksi antar anggota keluarga diatur dengan aturan yang didasarkan pada asumsi yang bias gender. Pada tingkat adat istiadat, mekanisme interaksi sosial dalam masyarakat diatur oleh nilai dan norma sosial kadang merugikan salah satu pihak. Kemudian, pada lingkungan kerja, perempuan juga sering kali dibayar dengan upah yang lebih rendah dari pada upah laki-laki. Terakhir pada tingkat negara, terkadang perempuan seringkali diberi kesempatan yang berda dengan laki-laki untuk berpartisipasi di panggung perpolitikan.
Susunan dasar dominasi gender yang sering ditemui dalam masyarakat adalah sistem patriarki dimana aturan yang pada masyarakat tersebut lebih mengistimewakan dan menguntungkan pihak laki-laki. Patriarki bukan merupakan sebuah konsekuensi yang tidak disengaja dari faktor lain (biologis dan psikologis), melainkan sebuah susunan kekuasaan yang ditopang oleh maksud yang kuat dan disengaja.[11] Sebagaimana kita telah ketahui dalam fungsional struktural, masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berkaitan dan masing-masing bagian secara terus menerus menncari keseimbangan. Hal tersebut secara tidak langsung dapat menjelaskan bahwa sistem patriarki yang sudah ada dalam masyarakat tentu saja akan dipandang sebagai sistem yang matang dimana staus quo yang terdapat dalam sistem tersebut akan selalu berusaha dipertahankan. Jadi, melalui analisis fungsionalisme struktural ini kita dapat melihat bagaimana masyarakat akan menolak setiap usaha yang akan menggoncangkan status quo, termasuk yang berkenaan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan paparan diatas, penulis menyimpulkan bahwa kebanyakan masyarakat melakukan pembagian peranan dalam keluarga dengan melihat perbedaan jenis kelamin. Hal tersebut pada akhirnya memunculkan berbagai masalah sosial yang justru merugikan salah satu pihak. Sehingga menimbulkan gerakan-gerakan perlawanan yang berusaha untuk melawan dominasi salah satu pihak yang secara kultural telah dilegitimasi oleh sistem dan struktur sosial yang ada. Mereka berusaha mengubah paradigma masyarakat bahwa pembagian kerja seharusnya tidak disarkan pada nilai-nilai ‘kepantasan’ semata, melainkan didasarkan pada kemapuan. Atrinya, suatu pekerjaan yang dilakukan bukan dilihat dari pantas atau tidaknya salah satu jenis kelamin mengerjakan perkerjaan tersebut, melainkan didasarkan pada pandangan “mampu atau tidaknya” pekerjaan tersebut dilakukan. Dengan demikian, tidak ada salah satu pihak yang akan dirugikan karena pembagian kerja syarat akan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang bias gender.

Sumber Referensi
Boserup, Ester, Woman’s Role in Economic Development, Terjemahan Mien Joebhaar & Sunarto, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984
Damsar & Indrayani, Pengantar Sosiologi Ekonomi, Jakarta: Kencana, 2013
Fakih, Mansour, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012
Riter, George, Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2014
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Penganta, Jakarta: Rajawali Pers, 2012




[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), Cet. 44, h. 100
[2] Damsar & Indrayani, Pengantar Sosiologi Ekonomi, (Jakarta: Kencana, 2013), Cet. 3, h.9-10
[3] George Riter, Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2014) Cet. II, h. 798
[4] Ester Boserup, Woman’s Role in Economic Development, Terjemahan Mien Joebhaar & Sunarto, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), h. xii
[5] Ibid., h 43
[6] George Ritzer, Op.Cit., h. 775
[7] Ibid., h. 794
[8] Ibid., 797
[9] Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), Cet. 14, h. 12
[10] Ibid., h. 15
[11] George Ritzer, Op.Cit., h. 801

You Might Also Like

1 comment:

  1. tolong di mrapikan tulisan nya kak,.bikin sakit mata baca nya,.,.

    ReplyDelete