EKONOMI DAN GENDER : (Pembagian Status dan Peranan antara Laki-laki dan Perempuan dalam Keluarga)
EKONOMI DAN
GENDER :
(Pembagian
Status dan Peranan antara Laki-laki dan Perempuan dalam Keluarga)
Oleh : Trisna Nurdiaman
Pada hakikatnya, manusia dilahirkan dengan naluri untuk selalu
hidup bersama dengan manusia yang lainnya (gregariousness). Manusia
adalah makhluk sosial (homo socius) yang tidak bisa memenuhi segala apa
yang menjadi keinginan dan kebutuhannya secara individual. Dalam rangka
menghadapi alam sekeliling, manusia harus hidup berkawan dengan manusia-manusia
lain dan pergaulan tadi akan mendatangkan kepuasan bagi jiwanya.[1] Oleh
karena itu dalam rangka untuk memenuhi hajat hidupnya, manusia membentuk
kelompok-kelompok sosial yang salah satunya adalah keluarga.
Keluarga merupakan suatu entitas kelompok sosial terkecil dalam
masyarakat yang terbentuk karena adanya ikatan kerjasama antara seorang
laki-laki dan perempuan untuk memenuhi hajat hidup bersama melalui berbagai
aktivitas rumah tangga. Di dalamnya terdapat sistem dan struktur sosial yang
mengatur bagaimana proses kerjasama upaya pemenuhan kebutuhan tersebut
berlangsung. Keluarga sebagai kelompok sosial memiliki lima ciri yang
mendasarinya, yaitu: pertama, adanya kesadaran pada setiap anggota
kelompok bahwa dia merupakan bagian dari kelompok tersebut; Kedua,
adanya hubungan timbal balik andanya anggota yang satu denga anggota yang lain;
Ketiga, adanya suatu faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan
antara mereka bertambah erat; Keempat, mempuanyai struktur, berkaidah
dan memiliki pola perilaku; Kelima, bersistem dan berproses. Dengan
demikian, terbentuknya suatu kelompok sosial keluarga selalu dibarengi dengan
pembentukan sistem dan struktur sosial yang mengatur pola relasi sosial
diantara para anggotanya dalam keluarga.
Ekonomi sebagai pengelolaan rumah tangga adalah suatu usaha dalam
pembuatan keputusan dan pelaksanaannya yang berhubungan dengan pengalokasian
sumberdaya rumah tangga yang terbatas diantara berbagai anggotanya dengan
mempertimbangkan, kemampuan, usaha dan keinginan masing-masing[2]. Proses ekonomi
sendiri secara garis besar terbagi kedalam tiga jenis, yaitu produksi,
distribusi dan konsumsi. Dalam rangka menjalankan aktivitas ekonomi tersebut,
maka dibuatlah pembagian status dan peran bagi setiap anggota keluarga.
Pembagian status dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga
pada setiap masyarakat bersifat relatif atau berbeda-beda, tergatung situasi,
kondisi sosial, adat istiadat dan ideologi yang dianut oleh masyarakat yang
bersangkutan.
Jessie Benard dalam The Future of Marriage (1972/1982)
menganalisis perkawinan sebagai suatu sistem budaya dari
kepercayaan-kepercayaan dan ideal-ideal, susunan institusional peran-peran dan
norma-norma, dan suatu kompleks pengalaman-pengalaman interaksional bagi wanita
dan pria individual[3].
Secara kelembagaan, perkawinan memperkuat peran laki-laki dengan otoritas dan
kebebasan yang diberikan kepadanya yang mana di dalamnya terdapat pertautan ide
otoritas jantan dengan ketangguhan seksual dan kekuasaan jantan. Hal tersebut
pada akhirnya membuat istri selalu mengalah, bergantung, mengosongkan diri,
serta kegiatan-kegiatan dan tuntutan-tuntutan yang diberikan kepadanya berpusat
di area domestik yang terisolasi.
Pembagian status dan peranan yang didasarkan atas perbedaan jenis
kelamin tersebut dilakukan karena adanya anggapan bahwa terdapat perbedaan
kemampuan, keterampilan dan kekuatan fisik antara laki-laki dan perempuan.
Misalnya pada masyarakat Indonesia, umumnya status sosial laki-laki adalah
sebagai kepala keluarga, sementara status perempuan adalah sebagai ibu rumah
tangga. Pembagian status dan peranan tersebut biasanya berimplikasi pada
pembagian wilayah kerja diantara keduanya dimana laki-laki biasanya berkerja di
sektor publik sementara perempuan melakukan tugasnya di ranah domestik. Namun
tentu saja hal tersebut tidak sepenuhnya benar dan tidak terjadi ada setiap
masyarakat. Meskipun perempuan selalu diidentikan sebagai ibu rumah tangga yang
katanya “selalu bekerja di ranah domestik” tapi pada kenyataannya banyak
perempuan yang juga ikut bekerja disektor publik. Hal tersebut terjadi baik
pada masyarakat modern maupun pada masyarakat tradisional, walaupun dengan
intensitas yang berbeda.
Setiap masyarakat mempunyai konsepsi ideologisnya tersendiri dalam
pembagian kerja yang didasarkan atas perbedaan jenis kelamin. Pada umumnya,
pekerjaan yang didasarkan pada jenis kelamin
dalam masyarakat terbagi kedalam tiga jenis, yaitu : (1) pekerjaan yang
dianggap lebih cocok untuk laki-laki, biasanya pekerjaan ini memerlukan
kekuatan fisik yang besar seperti kuli bangunan; (2) pekerjaan yang dianggap
lebih cocok untuk perempuan yang didasarkan atas “kepantasan” dan keahlian yang
dimiliki oleh kaum perempuan seperti bidan, guru TK dan lain sebagainya; (3)
pekerjaan yang bisa dilakukan oleh kedua jenis kelamin seperti dosen, wartawan,
artis dan lain sebagainya. Dalam pembagian kerja yang didasarkan pada jenis
kelamin tersebut, setiap masyarakat mempunyai konsepsi yang berbeda dalam
mengklasifikasikan pekerjaan terdapat pada ketiga jenis pekerjaan tersebut. Hal
tersebut bergantung pada nilai dan norma sosial yang berlaku pada masyarakat tersebut.
Pembagian pekerjaan tersebut biasanya dianggap sesuai dengan kapasitas
biologis, psikologis dan sosiologis yang dimiliki oleh keduanya. Secara umum,
laki-laki sering dikonsepsikan sebagai manusia yang kuat, rasional, mempunyai
keterampilan yang lebih tinggi dan mampu menghadapi pekerjaan yang memiliki
resiko dan tingkat konsentrasi yang tinggi. sementara itu perempuan sering
dikonsepsikan sebagai manusia yang lemah lembut, emosional dan mempuanyai
keterampilan yang lebih rendah dibanding laki-laki.
Menurut penelitian George Peter Murdock, laki-laki lebih konsisten
pada pekerjaan yang maskulin seperti memburu binatang, mengerjakan logam,
melebur biji-biji, pekerjaan soldir, pertukangan kayu, membuat instrumen musik,
menangkap dengan perangkap, mebuat kapal, pertukangan batu, mengerjakan
tulang-tulang, tanduk dan kulit kering, menambang dan mengangkut. Semantara itu
perempuan lebih konsisten pada pekerjaang yang dianggap feminim seperti
mengumpulkan kayu bakar, mempersiapkan minuman, meramu, menyediakan bahan
makanan, mencuci, mengambil air, memasak dan pekerjaan rumah tangga yang
lainnya.
Pada awalnya pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan relatif
seimbang, namun karena secara biologis perempuan harus mengalami kehamilan,
maka ditempatkanlah perempuan diranah domestik. Tugas perempuan yang
menjalankan fungsi reproduksi manusia tersebut (hamil) dinilai berat dan tidak
mungkin bisa dilakukan laki-laki, oleh karena itu perempuan selalu ditempatkan
pada wilayah kerja yang dianggap ringan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ester Boserup pada
tahun 1970, ternyata di Afrika, wanita bekerja di ladang lebih banyak dari pada
laki-laki; di Amerika Latin dan Asia Barat, bagian terbesar pekerjaan bertani
dikerjakan oleh kaum pria, sedangkan di Asia Tenggara pembagian kerja serupa
tersebut relatif seimbang. Pada banyak suku-suku Afrika, hampir semua tugas
yang berhubungan dengan produksi bahan makanan tetap diserahkan kepada kaum
wanita[4]. Sebelum
orang-orang Eropa datang, pekerjaan laki-laki pada kebanyakan suku-suku di
Afrika adalah sebagai penebang pohon, berburu dan berperang, sementara
perempuan lebih banyak berkerja di ladang. Lambat laun, pepohonan dan hewan
buruan semakin lama semakin berkurang serta peperangan antar suku dicegah oleh
dominasi Eropa. Hal tersebut mengakibatkan tak banyaknya sisa pekerjaan yang
biasa dilakukan oleh laki-laki di Afrika saat itu. Orang-orang Eropa yang sudah
terbiasa dengan Male Farming System-nya memandang pria Afrika sebagai
“pemalas” dan mereka tidak setuju dengan pembagian kerja yang tidak seimbang
tersebut. Setelah itu kemudian para petugas penyuluh pertanian Eropa di banyak
bagian Afrika berusaha menggerakan penduduk desa Pria Afrika yang setengah
menganggur untuk menanam tanaman dagang untuk diekspor ke Eropa. Selain itu
juga, para kolonialis Eropa juga menerapkan sistem perpajakan ke dalam bentuk
per-orangan demi memaksimalkan produktivitas kerja para pria Afrika. Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa status dan peranan yang biasanya
melekat pada satu jenis kelamin tertentus sebenarnya bisa berubah tergantung
situasi dan kondisi serta dapat dipertukarkan atau dimodifikasi.
Seperti yang kita ketahui, dalam sistem pertanian primitif
perbedaan antara produktivitas kerja laki-laki dan perempuan bertumpu pada
kekuatan fisik yang mereka miliki. Perbedaan produktivitas pertanian tersebut
dianggap tidak akan terjadi apabila sistem pertanian sudah tidak bergantung
lagi pada otot manusia. Namun kenyataanya setelah hal tersebut terjadi
(modernisasi pertanian), produktivitas laki-laki tetap lebih tinggi dari pada
perempuan. Hal tersebut terjadi karena kaum prialah yang lebih awal mempelajari
dan menjalankan peralatan teknologi pertanian modern. Sementara wanita tetap
bekerja pada peralatan yang masih tradisional. Hal tersebut membuat terjadinya
pelebaran kesenjangan antara produktivitas laki-laki dengan produktivitas
perempuan. Di semua negara berkembang dan dikebanyakan negara industri - kaum
wanita melakukan pekerjaan-pekerjaan fisik yang sederhana dalam pertanian
sedangkan peralatan peralatan jenis yang berdayaguna yang dipergerakan oleh
hewan atau mesin, terutama digunkan oleh para pria. Seringkali pria menetapkan
metode ilmiah modern dalam pertanian tanaman dagang, sedangkan isteri mereka
melanjutkan pertanian bahan makanan dengan metode-metode tradisional.[5]
Berangkat dari adanya anggapan ketidakadilan dan ketidaksetaraan
pembagian status dan peran, serta ketidakmerataan pengalokasian sumberdaya
antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat mengakibatkan munculnya gerakan
Feminisme. Feminisme sendiri adalah gerakan yang menuntut kesamaan status dan
peran antara laki-laki dan perempuan. Mereka mengenalkan konseptualisasi gender
sebagai variable deskriptif dan variable eksplanatoris untuk memberikan suatu
gambaran yang mampu membedakan antara maskulinitas dan feminimitas biologis
dengan maskulinitas dan feminimitas sosiologis. Dimulai pada tahun 1970-an,
para teoritisi feminis memungkinkan orang untuk melihat pembedaan-pembedaan
diantara : (a) atribut-atribut yang ditentukan secara biologis yang dihubungkan
dengan laki-laki dan perempuan, dan (b) perilaku-perilaku yang dipelajari
secara sosial terkait dengan maskulinitas dan feminimitas.[6] Menurut
mereka, pri dan wanita disituasikan dalam di dalam masyarakat bukan hanya
dengan cara yang berbeda tetapi juga dengan cara yang tidak setara. Wanita
mendapat sumber-sumber daya material, status sosial dan peluang-peluang untuk
aktualisasi yang lebih sedikit dari pada pria yang mempuanyai lokasi sosial
yang sama dengan mereka, baik lokasi yang didasarkan pada kelas, ras,
pekerjaan, etnisitas, agama, pendidikan, nasionalitas, atau persimpangan faktor-faktor
itu. Ketidaksetaraan tersebut dihasilkan dari pengorganisasian masyarakat,
bukan dari perbedaan biologis atau kepribadian yang signifikan antara laki-laki
dan perempuan.[7]
Setiap manusia memiliki kebutuhan yang mendalam atas kebebasan untuk mengusahakan
aktualisasi diri kemungkinan fundamental dibentuk yang membuat mereka
beradaptasi dengan paksaan-paksaan atau kesempatan-kesempatan siatuasi ketika
mereka menemukan diri. Wanita secara situasional kurang diuntungkan apabila
dibanding pria untuk mewujudkan kebutuhannya akan aktualisasi diri.
Menurut feminisme liberal, ketidaksetaraan gender merupakan sebuah
hasil pemolaan berdasarkan seksi pembagian kerja. Mereka memandang gender
sebagai sistem stratifikasi yang menghasilkan pembagian kerja bergender, suatu
pengorganisasian masyarakat kedalam lingkup publik dan privat serta suatu
dimensi kultural dari ideologis seksis.[8] Mereka
berpandangan bahwa semua manusia mempunyai ciri-ciri esensial tertentu seperti
kemampuan untuk bernalar, agensi moral dan aktualisasi diri. Pelaksanaan
kemampuan-kemampuan tersebut dapat dilaksanakan melalui pengakuan hukum atas
hak-hak universal. Ketidaksamaan-ketidaksamaan diantara pria dan wanita yang diberikan oleh jenis kelamin
adalah konstruksi-konstruksi sosial yang tidak mempunyai landasan di dalam
alam. Perubahan sosial untuk kesetaraan dapat dihasilkan oleh suatu seruan
terorganisir kepada publik yang dapat berpikir dan dengan memanfaatkan negara. Oleh
karena itu, kesetaraan gender dapat dicapai dengan cara mengubah pembagian
kerja melalui pemolaan kembali lembaga-lembaga kunci (lembaga hukum, kerja,
keluarga, pendidikan dan media).
Sebenarnya perbedaan gender dalam masyarakat bukan merupakan suatu
masalah. Namun yang menjadi titik tolak permasalah dari perbedaan tersebut adalah
ketidakadilan yang ditimbulkannya, baik bagi kaum laki-laki maupun bagi
perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum
laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut[9].
Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk fenomena sosial
yang terjadi dalam masyarakat seperti : marginalisasi, subordinasi, stereotipe
gender, kekerasan dan benban kerja yang lebih panjang.
Proses marginalisasi yang dihasilkan oleh ketidaksetaraan gender
biasanya menimpa satu jenis kelamin tertentu. Namun, karena kebanyakan ideologi
gender yang dianut masyarakat umum adalah ideologi patriarki, maka kebanyakan
proses marginalisasi tersebut terjadi pada perempuan. Dilihat dari sumbernya,
proses marginalisasi tersebut berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan,
tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaan serta asumsi ilmu pengetahuan.
Proses marginalisasi perempuan tidak saja terjadi ditempat pekerjaan, juga
terjadi ditempat rumah tangga, masyarakat atau kultur bahkan negara.[10]
Seringkali marginalisasi ini diperkuat dan dilegitimasi oleh adat istiadat dan
tafsir agama.
Konsepsi gender juga sering kali menimbulkan subordinasi dan
stereotip terhadap perempuan dimana mereka ditempatan pada posisi yang tidak
penting dan kurang menguntungkan serta diberi pelabelan negatif. Perempuan sering
dianggap irrasional dan bersifat emosional sehingga mereka dianggap tidak
mempunyai kapasitas untuk tampil sebagai
pemimpin dalam masyarakat. Salah satu stereotip gender yang terjadi ditengah
masyarakat adalah dimana perempuan dipandang sebagai “perangkap setan”. Ada
satu ungkapan yang mengatakan bahwa “setan menggoda melalui tiga cara, yaitu harta,
tahta dan wanita”. Ungkapan tersebut memberikan label negatif bagi
perempuan disejajarkan dengan harta dan tahta, serta mereka juga dipandang
sebagai sesuatu yang mendekatkan manusia pada dosa-dosa. Pada zaman dahulu,
masyarakat Jawa menganggap bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi,
“toh pada akhirya akan ke dapur juga”. Sehingga tidak aneh jika hal yang
menyangkut pendidikan anak laki-laki selalu lebih diprioritaskan dari pada anak
perempuan. Bahkan ada satu celotehan yang cukup menggelitik yang mengatakan
bahwa “tugas wanita hanyalah di sumur, dapur dan kasur”. Bias gender yang terjadi
dalam masyarakat juga sering kali mengakibatkan adanya kekerasan terhadap salah
satu jenis kelamin yang dianggap lebih lemah. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut
meliputi pemerkosaan, pemukulan, penyiksaan, pelacuran, fornografi, seterilasi
KB dan lain sebagainya.
Meskipun wanita saat ini sudah mampu berpartisipasi dalam kegiatan
ekonomi di ranah publik, namun tetap saja kedua lingkungan (publik dan
domestik) tersebut masih dibentuk oleh
ideologi patriarki dan seksisme yang juga masih meresap dalam sendi-sendi media
massa kontemporer. Di satu sisi wanita menemukan pengalaman mereka di dalam
lingkungan publik seperti pendidikan, kerja dan politik. Disisi yang lain di
dalam lingkungan privat mereka mendapati diri dalam suatu “ikatan waktu”
sewaktu mereka kembali kerumah, mereka harus bekerja kembali untuk mengurus
anak dan pekerjaan rumah tangga yang lainnya. Di kalangan keluarga miskin,
wanita sering kali menanggung beban ganda dimana ia harus melakukan semua
pekerjaan domestik serta membantu suaminya untuk menutupi kebutuhan ekonomi
keluarga. Pekerjaan yang dilakukan perempuan di wilayah domestik sering kali
dianggap lebih rendah, lebih ringan dan kurang produktif apabila dibandingkan
dengan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki.
Manifestasi ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi
ekonomi, subordinasi, kekerasan, stereotip dan beban kerja tersebut terjadi
dalam setiap tingkatan mulai dari keluarga, adat istiadat, lingkungan kerja
hingga negara. Pada tingkat keluarga, proses pengambilan keputusan, pembagian
kerja serta interaksi antar anggota keluarga diatur dengan aturan yang
didasarkan pada asumsi yang bias gender. Pada tingkat adat istiadat, mekanisme
interaksi sosial dalam masyarakat diatur oleh nilai dan norma sosial kadang
merugikan salah satu pihak. Kemudian, pada lingkungan kerja, perempuan juga
sering kali dibayar dengan upah yang lebih rendah dari pada upah laki-laki.
Terakhir pada tingkat negara, terkadang perempuan seringkali diberi kesempatan
yang berda dengan laki-laki untuk berpartisipasi di panggung perpolitikan.
Susunan dasar dominasi gender yang sering ditemui dalam masyarakat
adalah sistem patriarki dimana aturan yang pada masyarakat tersebut lebih
mengistimewakan dan menguntungkan pihak laki-laki. Patriarki bukan merupakan
sebuah konsekuensi yang tidak disengaja dari faktor lain (biologis dan
psikologis), melainkan sebuah susunan kekuasaan yang ditopang oleh maksud yang
kuat dan disengaja.[11]
Sebagaimana kita telah ketahui dalam fungsional struktural, masyarakat
dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang saling
berkaitan dan masing-masing bagian secara terus menerus menncari keseimbangan.
Hal tersebut secara tidak langsung dapat menjelaskan bahwa sistem patriarki
yang sudah ada dalam masyarakat tentu saja akan dipandang sebagai sistem yang
matang dimana staus quo yang terdapat dalam sistem tersebut akan selalu
berusaha dipertahankan. Jadi, melalui analisis fungsionalisme struktural ini
kita dapat melihat bagaimana masyarakat akan menolak setiap usaha yang akan
menggoncangkan status quo, termasuk yang berkenaan dengan
hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan paparan diatas, penulis menyimpulkan bahwa kebanyakan
masyarakat melakukan pembagian peranan dalam keluarga dengan melihat perbedaan
jenis kelamin. Hal tersebut pada akhirnya memunculkan berbagai masalah sosial
yang justru merugikan salah satu pihak. Sehingga menimbulkan gerakan-gerakan
perlawanan yang berusaha untuk melawan dominasi salah satu pihak yang secara
kultural telah dilegitimasi oleh sistem dan struktur sosial yang ada. Mereka
berusaha mengubah paradigma masyarakat bahwa pembagian kerja seharusnya tidak
disarkan pada nilai-nilai ‘kepantasan’ semata, melainkan didasarkan pada
kemapuan. Atrinya, suatu pekerjaan yang dilakukan bukan dilihat dari pantas
atau tidaknya salah satu jenis kelamin mengerjakan perkerjaan tersebut,
melainkan didasarkan pada pandangan “mampu atau tidaknya” pekerjaan tersebut
dilakukan. Dengan demikian, tidak ada salah satu pihak yang akan dirugikan
karena pembagian kerja syarat akan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang bias
gender.
Sumber Referensi
Boserup, Ester, Woman’s Role in Economic Development,
Terjemahan Mien Joebhaar & Sunarto, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984
Damsar & Indrayani, Pengantar Sosiologi Ekonomi,
Jakarta: Kencana, 2013
Fakih, Mansour, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012
Riter, George, Teori Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik sampai
Perkembangan Terakhir Postmodern, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2014
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Penganta, Jakarta:
Rajawali Pers, 2012
[1] Soerjono
Soekanto, Sosiologi suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012),
Cet. 44, h. 100
[2] Damsar &
Indrayani, Pengantar Sosiologi Ekonomi, (Jakarta: Kencana, 2013), Cet. 3,
h.9-10
[3]
George Riter, Teori
Sosiologi : Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2014) Cet. II, h. 798
[4] Ester Boserup,
Woman’s Role in Economic Development, Terjemahan Mien Joebhaar &
Sunarto, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), h. xii
[5] Ibid.,
h 43
[6] George Ritzer,
Op.Cit., h. 775
[7] Ibid.,
h. 794
[8] Ibid.,
797
[9] Mansour Fakih,
Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), Cet. 14, h. 12
[10] Ibid.,
h. 15
[11] George Ritzer,
Op.Cit., h. 801


tolong di mrapikan tulisan nya kak,.bikin sakit mata baca nya,.,.
ReplyDelete