Gender dalam Panggung Sejarah

20:06 Zilenial School 0 Comments




Gender. mungkin kita sudah tidak asing dengan istilah ini. Istilah gender sering diartikan sebagai sebuah kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Untuk memahami konsep gender, harus dibedakan kata gender dengan kata sex (jenis kelamin). Definisi jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan tuhan (kodrat)[1].
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2012, gender diartikan sebagai seperangkat peran, perilaku, kegiatan dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan. Gender mengacu pada peran yang dikonstruksikan masyarakat dan perilaku-perilaku yang dipelajari serta harapan-harapan yang dikaitkan pada perempuan dan pada laki-laki. Seperti ras, suku, maupun kelas.
Pembahasan tentang sejarah dan perkembangan gender tidak bisa terlepas dari sejarah pergerakan kaum feminisme di Barat. Kata feminis pertama kali ditemukan pada awal ke-19 oleh seorang sosialis berkebangsaan Perancis, yaitu Charles Fourier. Terdapat perbedaan pendapat antara ilmuan tentang sejarah munculnya istilah feminisme. Istilah Feminisme berasal dari bahasa Latin Femina (perempuan).
Istilah feminis sebagai nama suatu pergerakan aktivis perempuan dalam memperjuangkan hak mereka bukanlah yang pertama dalam tatanan bahasa. Sebelum istilah ini muncul, kata-kata seperti womanism, the woman movement, atau woman question telah digunakan terlebih dahulu. Seiring berkembangnya gerakan kelompok feminisme ini, istilah-istilah di atas berubah menjadi feminisme hingga sekarang.
Gerakan feminisme berkembang dengan baik tidak hanya di Barat tetapi juga di Negara-negara timur. Salah satu faktor yang mendorong cepatnya gerakan femenisme adalah gerakan ini menjadi gelombang akademik di universitas-universitas, melalui progam women studies. Bahkan gerakan ini mampu menyentuh bidang politik dimana gerakan perempuan ini telah mendapat “restu” dari perserikatan Bangsa-bangsa dengan dikeluarkannya CEDAW (Convention on the Eliminating of All Farms of Discriminating Against Women).
Dua feminis yang terkemuka, Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton, pada tahun 1848 mengorganisir pertemuan akbar Konvensi Hak-Hak Perempuan di Seneca Falls  yang dihadiri oleh 300 peserta laki-laki dan perempuan. Pertemuan itu kemudian menghasilkan  deklarasi yang menuntut reformasi hukum-hukum perkawinan, perceraian, properti  dan anak. Di dalam deklarasi tersebut mereka memberi penekanan kepada hak perempuan  untuk berbicara dan berpendapat di dunia publik. Konvensi di Seneca Falls merupakan bentuk protes kaum perempuan terhadap pertemuan akbar konvensi penghapusan perbudakan sedunia pada taun 1840, dimana kaum perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
Pada awal abad 20 “Feminisme” digunakan di Amerika dan Eropa untuk mendeskripsikan elemen khusus dalam pergerakan perempuan yang menekankan pada keistimewaaan” dan perbedaan perempuan, dari pada mencari kesetaraan. Feminisme digunakan untuk mendeskripsikan tidak hanya kampanye politik untuk pemilihan umum tetapi juga hak ekonomi dan sosial, seperti  pembayaran yang setara (equal pay) sampai KB atau (birth control). Dari sekitar perang dunia I, beberapa perempuan muda meyakinkan  bahwa feminisme saja tidak cukup, kemudian mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai feminis sosialis. Kaum sosialis perempuan yang lain menentang feminisme. Mereka melihat feminisme hanya mengespresikan secara eklusif kepentingan perempuan kelas menengah dan professional.
Kaum Feminis kemudian mengembangkan konsep  gender  pada tahun 1970 sebagai alat untuk mengenali bahwa perempuan tidak dihubungkan dengan laki-laki di setiap budaya dan bahwa kedudukan perempuan di masyarakat  pada akhirnya berbeda-beda. Kemudian wacana gender diperkenalkan oleh sekelompok feminis di London pada awal tahun 1977.  Sejak itu para feminis  mengusung konsep  gender equality atau kesetaraan jender sebagai mainstream gerakan mereka.  Jender  menurut Unger adalah, “a term used to encompass the social expectations associated with feminity and msculinity.“  Para feminis berpendapat jender merupakan konstruk sosial, dan berbeda dengan “sex“ yang merujuk pada anatomi biologis.  Jender dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya,  agama, dan hukum yang berlaku di masyarakat serta  faktor-faktor lainnya.  Lips berpendapat,  jender tidak hanya terdiri dari dua jenis, yaitu  feminin dan maskulin, seperti umumnya diketahui oleh masyarakat luas. Tetapi beliau mengakui adanya jender ketiga yang bersifat cair dan bisa berubah-ubah, dan telah dikenal oleh masyarakat pada berbagai macam budaya yang berbeda. Jender ketiga ini tidak bisa dikategorikan sebagai feminin atau maskulin, tetapi mereka adalah kaum homoseksual dan transvestite (seseorang yang senang berpakaian jender lainnya).
Setelah munculnya rekomendasi dari PBB, gerakan ini berkembang sangat pesat. Perkembangan gerakan ini bisa dilihat dari kebijakkan PBB yang menunjukkan keberhasilan mereka. Sejak 1990, UNDP (United Nations Development Program) melalui laporan berkalanya (Human Development Report) telah menyiapkan indikator untuk mengukur kemajuan suatu negara. Selain pertumbuhan GDP (Growth Domestic Product) mereka menambah (Human Development Index) HDI. HDI digunakan untuk mengukur kemajuan suatu negara dengan melihat usia harapan hidup (life expectancy), angka kematian bayi (infant mortality rate), dan kecukupan pangan (food security). Sehingga inti kemajuan suatu negara adalah meningkatnya kualitas sumber daya manusia. Setelah lima tahun, UNDP menambah konsep HDI dengan kesetaraan gender (Gender Equality).
Sejak UNDP memasukkan kesetaraan gender dalam HDI, maka faktor kesetaraan gender harus selalu diikutsertakan dalam mengevaluasi keberhasilan pembangunan nasional. Perhitungan yang dipakai adalah GDI (Gender Development Index) dan GEM (Gender Empowerment Measure). Perhitungan GDI mencakup kesetaraan antara pria dan wanita dalam usia harapan hidup, pendidikan, dan jumlah pendapatan. Sedangkan perhitungan GEM mengukur kesetaraan dalam partisipasi politik dan dalam beberapa sektor yang lainnya. Ukuran ini bertitik tolak pada konsep kesetaraan sama rata.
Perkembangan gerakan feminisme juga terasa di Indonesia dengan diratifikasinya isi CEDAW sehingga keluarlah UU no. 7 tahun 1984. Setelah itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan undang-undang perlindungan anak. Selain itu, mereka juga berusaha melakukan legalisasi aborsi melalui amandemen UU kesehatan. Dalam bidang politik, feminis berada di belakang keluarnya UU pemilu tahun 2008 tentang kuota caleg perempuan sebanyak 30 persen.
1.      Upaya Pemerintah
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin semua warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama di muka hukum, menjadi acuan pokok bagi pergerakan wanita untuk memperbaiki nasib dan meningkatkan kedudukannya. Organisasi-organisasi wanita sedari dulu telah mempersoalkan nasib wanita dalam keluarga dengan adanya poligami dan perlakuan sewenang-wenang oleh suami. Organisasi-organisasi wanita secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui KOWANI mengadakan desakan kepada pemerintah agar membentuk undang-undang perkawinan itu. KOWANI sejak tahun 1930-an mengemukakan pentingnya undang-undang perkawinan yang lebih menjamin kesejahteraan keluarga. Ini juga dilakukan oleh Musyawarah Nasional untuk pekerjaan sosial tahun 1960, oleh Musyawarah Nasional Kesejahteraan Keluarga tahun 1960, oleh Konferensi Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perkawinan (BP4) Pusat tahun 1962 dan oleh Seminar Hukum Nasional tahun 1993. Setelah diperjuangkan bertahun-tahun di DPR, baru Undang-undang Perkawinan dapat disahkan pada akhir tahun 1973 dan menjadi UUP No. 1 tahun 1974. Kendati demikian, masih banyak terjadi perlakuan oleh suami yang menyebabkan penderitaan istri. Menurut hasil penelitian, masih terjadi diskriminasi terhadap wanita di segala bidang kehidupan, terutama dalam keluarga.
Di bidang perburuhan, organisasi-organisasi wanita telah memperjuangkan nasib buruh wanita sejak tahun 1930-an. Pemerintah memberi perhatian terhadap masalah ini sejak Undang-undang Kerja tahun 1948 yang secara rinci memberi perlindungan kepada tenaga kerja wanita. Akan tetapi, dalam kenyataanya juga masih banyak kejadian yang mengabaikan peraturan.
Kepedulian pemerintah terhadap tuntutan-tuntutan pergerakan wanita dibuktikan dengan disediakannya jabatan Menteri Muda Urusan Peranan Wanita pada 1978 yang kemudian ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Juga dalam GBHN tahun 1978 dicantumkan bahwa wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk ikut serta sepenuhnya dalam segala kegiatan pembanngunan. Dengan adanya kerja sama antara Menteri Negara UPW dengan depertemen-departemen lain seperti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pekerjaan Umum dan lain-lain yang masing-masing memiliki seksi Peningkatan Peran Wanita (P2W), dapat diharapkan kepentingan wanita dalam bidang pembangunan benar-benar dapat diperhatikan.
Kepedulian pemerintah terhadap pergerakan wanita juga nampak dalam pemberian subsidi secara rutin atau pada kegiatan-kegiatan wanita, misalnya kepada KOWANI. Kemudian pada 5 Agustus 1974 menggabungkan semua organisasi istri karyawan lembaga-lembaga pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah ke dalam satu organisasi besar yang dinamakan Dharma Wanita. Ini dilakukan untuk mendukunng perjuanngan dan menyukseskan pegawai Republik Indonesia sebagai Aparatur Negara dan Abdi Masyarakat dalam mengemban tugasnya untuk menyelenggarakan pemerintahan dan meleksanakan pembangunan sebagaimana tercantum dalam pembukaan Anggaran Dasarnya. Juga dimaksudkan agar pengintegrasian kegiatan organisasi istri pegawai searah dengan pelaksanaan tugas pegawai Republik Indonesia.
2.      Upaya Non Pemerintah
Gerakan wanita juga mencakup yayasan-yayasan yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang mempunyai kegiatan tertentu yang terbatas, misalnya perbaikan nasib buruh wanita atau khusus mengadakan publikasi dan dokumentasi mengenai wanita. Tujuan mereka juga meningkatkan kedudukan wanita dan menghilangkan diskriminasi dan mereka mempunyai keyakinan bahwa tujuan lebih mudah tercapai dalam kelompok kecil di mana peminatnya mempunyai hubungan yang akrab, tidak bnyak birokrasi, serta adanya pembagian pekerjaan yang luwes. Selain itu kegiatan mereka terutama di tingkat masyarakat bawah yang tidak terjangkau oleh proyek-proyek pembangunan pemerintah.
Organisasi wanita yang besar dan beranggota banyak maupun yayasan yang pesertanya terbatas adalah tergolong Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tetapi karena karena yayasan ini tidak tergantung pada bantuan pemerintah seperti KOWANI, maka yayasan itu menyebut dirinya ORNOP (organisasi non-pemerintah). Ada yang mampu membiayai sendiri kegiatan-kegiatannya, tetapi jika tidak maka banyak tergantung pada bantuan luar negeri, dari yayasan yang serupa. Di Indonesia kelompok-kelompok kecil tersebut mulai tumbuh tahun 1970 sampai dengan 1980-an dan menurut perkiraan berjumlah lebih dari 4.000 tergabung dalam satu forum kerja sama.
Cita-cita gerakan wanita juga menjelma di perguruan tinggi dalam bentuk pusat atau kelompok studi wanita, terdiri dari peminat-peminat wanitan maupun pria. Mereka mengkhususkan kegiatannya dalam mempelajari fenomena gerakan wanita sebagai gerakan sosial, mengadakan penelitian-penelitian sosial mengenai wanita, memahami dan mengembangkan teori-teori mengenai kedudukan peranan wanita. Studi wanita juga berbentuk perkuliahan, di fakultas-fakultas ilmu sosial. Di Indonesia studi wanit dimulai tahun 1979 dan banyak bermunculan di perguruan tinggi negeri dan swasta pada akhir 80-an berkat dukungan yang besar oleh Menteri Negara UPW hingga sekarang berjumlah hamper 60 buah. Adanya pusat-pusat studi wanita di universitas di Indonesia dianggap perlu karena dapat membantu pemerintah dengan mengungkapkan situasi dan kondisi wanita di berbagai daerah sehingga dapat diketahui potensi wanita (termasuk hambatan-hambatan yang dialami) untuk kepentingan nasional. Di perguruan tinggi juga ada kesempatan memperdalam secara khusus studi wanita dengan memperoleh gelar magister (S2).
Gerakan wanita juga menjelma dalam pembentukan lembaga-lembaga bantuan hukum untuk wanita dan keluarga yang ada di berbagai kota di Indonesia. Dengan demikian, gerakan wanita adalah salah satu usaha untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat dunia dan di Indonesia khususnya didukung oleh pria dan wanita dari berbagai generasi, oleh pergruruan tinggi, lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta, bahkan oleh dunia internasional.

HAM (Hak Asasi Manusia)
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar yang dimiliki manusia yang diperoleh sejak lahir ke dunia dan merupakan kodrat dari Tuhan. Hak-hak tersebut dimiliki manusia  tanpa memandang perbedaan ras, suku, agama dan jenis kelamin. Hak-hak tersebut bersifat asasi dan universal.
HAM adalah kemerdekaan, kebebasan, dan perlindungan paling mendasar bagi setiap manusia, bersifat lintas pemerintahan dan agama, tidak berbeda baik saat perang maupun damai, serta bersifat tetap. Saat ini, kajian HAM meliputi: Hidup, kebebasan, dan keamanan, Kemerdekaan beragama, berpikir, berpolitik, melakukan gerakan, berserikat, berpendapat, dan berorganisasi, Menempuh jalur hukum, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, memiliki sesuatu, berkebudayaan, Berumah-tangga dan berkeluarga, Bebas dari diskriminasi, penghukuman yang tidak adil, tirani, dan penindasan.
Secara resmi, Hak Asasi Manusia menjadi isu internasional setelah diproklamasikannya Universal Declaration of Human Rights tanggal 10 Desember 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Deklarasi tersebut telah diterjemahkan ke dalam 360 bahasa untuk keperluan sosialisasi ke seluruh penjuru dunia. Harapannya adalah pemerintah di seluruh dunia mau mempelajari dan memasukkan substansi deklarasi tersebut ke dalam sistem konstitusinya. Indonesia sendiri telah memasukkan point-point Hak Asasi Manusia di dalam Bab XA (amandemen ke-2 UUD 1945). Ini merupakan bukti keseriusan pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip HAM di dalam sistem hukum paling tingginya.

Perspektif Gender dan HAM
Sebagai seorang muslim, alangkah baiknya apabila kita mengetahui terlebih dahulu bagaimana pandangan islam mengenai gender. Al-Quran sebaga rujukan prinsip masyarakat islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptaan dari satu nafs (living entity, dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain bahkan Al-quran tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip Al-quran terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, dimana hak istri diakui sedrajat dengan hak suami. Dengan kata lain laki-laki memiliki hak dan kewajiban terhadap perempuan dan sebaliknya perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki, apalagi jika dikaitkan dengan konteks masyarakat pra islam yang ditranspormasikannya.[2]
Selain dalam hal pengambilan keputusan, juga dalam hak ekonomi, yakni untuk memiliki harta kekayaan yang tidaklah suami atau bapaknya boleh mencampuri harta kekayaan, termasuk kekayaan yang didapat dari warisan atau yang diusahakannya sendiri. Oleh sebab itu mahar dibayar oleh laki-laki untuk pihak perempuan bukan untuk orang tua dan tidak bisa diambil kembali oleh suaminya. Pada dasarnya inti ajaran setiap agama, khususnya islam adalah menganjurkan dan menegakan prinsip keadilan. Al-quran sebagai prinsip dasar atau pedoman moral tentang keadilan tersebut, yang mencangkup keadilan ekonomi, politik, kultural, termasuk keadilan gender.
Peran perempuan dan laki-laki dalam kegiatan ekonomi menunjukkan kesenjangan yang cukup lebar diberbagai sektor kegiatan. Kesenjangan gender dibidang ekonomi ini disebabkan oleh berbagai perbedaan kesempatan, akses dan kontrol terhadap sumber daya dan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini diperparah dengan berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah yang kurang sensitif dan responsif gender.
Dalam pengimplementasian pasal 11 konvensi wanita yang jelas diratifikasi berdasarakan UU No.7/1984. pasal 11 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dilapangan pekerjaan guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan yang meliputi: hak untuk bekerja , hak untuk memilih propesi, hak untuk menerima upah yang sama, hak atas jaminan sosial, hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Statistik gender dibidang ekonomi ini dapat dilihat melalui: (a) Angkatan kerja; (b) Tingkatan pengangguran dan kesempatan kerja; (c) Upah atau gaji.
Rendahnya upah perempuan disebabkan keterbatasan perempuan sebagai individu (human capital) dalam hal pendidikan, pengalaman dan keterampilan kerja, budaya serta faktor biologis. Keterkaitan perempuan pada kegiatan rumah tangga menyebabkan mereka memilih kegiatan yang ruang geraknya terbatas, berupah rendah, dan sedikit persaingan dengan pria. Untuk menerangkan konteks tersebut dapat dicermati melalui 3 prespektif[3]:
(1)     Perspektif integrasi yang beranggapnan bahwa pembangunan dapat memberi peluang kerja bagi wanita;
(2)     Perspektif marjinalisasi, mengacu pad paham bahwa pembangunan kapitalis akan menggusur wanita dari kegiatan inti ekonomi pinggiran, bahkan wanita dapat didepak keluar sam sekali dari hubungan produktif;
(3)     Perspektif eksploitasi, beranggapan bahwa ekploitasi adalah produk modernisasi yang menekankan akuulasi modal oleh para kapitalis.

Adapun solusi bagi ketidak adilan gender dalam bidang ekonomi, diantaranya:
a.       Pemberdayaan perempuan dalam pengembangan ekonomi kerakyatan;
b.      Memberi kemampuan atau keahlian khusus kepada perempuan dalam bidang kewirausahaan, guna menumbuh kembangkan usaha ekonomi produktif maupun kreatif;
c.       Peningkatan akses perempuan terhadap informasi tentang sumber daya alam, sumber dana modal, kredit dan informasi pasar;
d.      Pemantapan kemitraan usaha yang dikelola perempuan dengan swsta, BUMN, dan koperasi;
e.       Pembaharuan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan  ketenaga kerjaan agar berkesetaraan dan berkeadilan gender;
f.       Penggunaan teknologi tepat guna yang berspektif gender;
g.      Peningkatan pelayanan kesejahteraan dan perlindungan hukum bagi tenaga kerja perempuan;
h.      Penyuluhan tentang hak dan kewajiban pemberi kerja dan pekerja perempuan;
i.        Penerapan norma perlindungan hukum, perlindungan tenaga kerja, dan fungsi reproduksi pekerja perempuan;
j.        Peningkatan kualitas dan profesionalisme serta produktifitas pekerja perempuan;
k.      Peningkatan pendidikan, keterampilan dan keahlian tengaga kerja perempuan, dan banyak hal lainnya.

Selanjutnya untuk pasal 11 konvensi wanita yang telah diratifikasi melalui UU No.7/1984 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan khususnya yang berkaitan dengan perempuan sebagai tenaga kerja mengatur hal-hal sebagai berikut:
1.      Negara peserta wajib membuat peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dilapangan kerja guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan perempuan dan laki-laki khususnya: hak untuk bekerja sebagai hak asasi manusia, kesempatan kerja yang sama, memilih profesi dan pekerjaan, menerima upah yang sama, jaminan sosial, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.
2.      Untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan atas dasar perkawinan atau kehamilan dan untuk menjamin hal efektif mereka dalam bekerja, negara-negara peserta wajib membuat peraturan seperti: Untuk melarang dengan dikenakan fungsi pemacetan atas dasar kehamilan atau cuti hamil dan diskriminasi dan pemberhentian atas dasar status perkawinan.
3.      Perundang-undangan yang bersifat melindungi sehubungan dengan hal-hal yang tercakup dalam pasal ini ditinjau kembali berdasarkan pengetahua dan teknologi serta direvisi, dicabut atau diperluas menurut keperluan.

Setelah digembor-gemborkannya gender, kini tak sedikit wanita yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, dan akhirnya dapat berkarir menjadi sorang guru, dokter, bahkan bekerja di perusahaan, kantor dan menjadi seorang pebisnis. Tidak dapat dipungkiri, ini adalah suatu hal yang dapat meningkatkan perekonomian. Meskipun masih terjadi ketidakadilan gender.


[1] Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2012).
[2] Ibid., h. 7
[3] Lih. Abdullah:1997

You Might Also Like

0 comments: