Gender and Social Role
Istilah peran
mengacu pada sekumpulan norma prilaku yang berlaku untuk sebuah posisi dalam
struktur sosial. Norma-norma yang dimaksud disini adalah sekumpulan atau satu
set ekspektasi mengenai peran yang harus ditampilkan, bagaimana menyikapi orang
lain ketika menampilkan peranannya,
sekaligus juga bagaimana seseorang menerima peran tersebut. Dalam bentuknya
yang ideal peran tampilan adalah peran yang diharapkan ditambah dengan peran
yang diterima yang kedua-duanya bersifat pengaruh mempengaruhi atau dengan kata
lain adanya hubungan timbal balik diantara harapan dan yang diterima.
Konsep peran
hanyalah suatu pengelompokan istilah yang digunakan untuk mempelajari prilaku
seseorang. Peran adalah aspek yang dinamis diantara status yang sudah terpola
yang berkaitan dengan hak serta kewajiban. Peran berhubungan dengan status
seseorang yang terpola yang dipengaruhi oleh seperangkat harapan orang lain dan
yang ditampilkan oleh orang lain yang bersangkutan. Pelaksanaan peran ini
dipengaruhi oleh citra ( image) yang ditampilkan oleh seseorang yang
bersangkutan. Dengan demikian peran adalah budaya yang dihubungkan dengan
status seseorang yang bersangkutan. penilaian terhadap peran itu sendiri sudah
mencakup baik serta buruk, banyak, sedikit atau bahkan tinggi dan rendah. Pada
intinya status dan peran itu saling melengkapi satu sama lainnya.[1] Jadi
secara singkat, Peran adalah prilaku yang diharapkan dari seseorang yang
mempunyai suatu status.[2]
Menurut Aida
Vitayala S. Hubeis dalam bukunya yang berjudul “Pemberdayaan Perempuan dari
Masa ke Masa” menyatakan bahwa hakikat peranan meliputi hal-hal beirukut :
1. Peran adalah aspek dinamis dari status yang
sudah terpola yang berada dalam hak dan kewajiban.
2. Peran berhubungan dengan status seseorang pada
kelompok tertentu atau situasi tertentu yang dipengaruhi oleh sesuatu yang
diharapkan orang lain terhadap perilaku yang seharusnya ditampilkan oleh
seseorang yang bersangkutan.
3. Pelaksanaan suatu peran dipengaruhi oleh citra
(image) yang ingin dikembangkan oleh seseorang. Dengan demikian peran
adalah keseluruhan pola budaya yang dihubungkan dengan satus individu yang
bersangkutan.
4. Penilaian terhadap keragaan suatu peran sudah
menyangkut nilai baik, buruk, tinggi atau rendah atu banyak, sedikit. Peran
gender yang dibebankan pada seseorang atau sekelompok orang yang didalam
sesuatu masyarakat ditentukan oleh keadaan mereka sebagai perempuan atau lelaki
yang sudah mencakup penilaian.[3]
Sebagai contoh
yang dari pemaparan diatas adalah sebagai berikut : Kesepakatan umum untuk
peran seorang ibu adalah merawat anak dan peran ayah adalah menghidupi
keluarga. Dua peranan tersebut berhubungan dengan serangkaian tingkah laku,
konsekuensi dan nilai-nilai sosial. Jika dipandang tidak sesuai semisal ibu
tidak merawat anak atau ayah tidak menghidupi keluarga maka masyarakat akan
memberikan sanksi atau penilaian tertentu, seperti ibu dan ayah yang tidak
bertanggung jawab.
2.
Peran Gender
Peran Gender Merupakan kesepakatan kesepakatan pandangan dalam masyarakat
dan budaya tertentu perihal perihal ketepatan dan kelaziman bertindak untuk
jenis kelamin tertentu. Setiap masyarakat mempunyai konsep peranan gender yang
berbeda-beda dan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Peran gender dapat mengalami perubahan
seiring dengan perubahan tatanan sosial, ekonomi di tingkat lingkungan
masyarakat dan kesepakatan bersama untuk lingkungan perseorangan.
Secara universal peranan gender terbagi menjadi tiga jenis peranan, yaitu
peran reproduktif, peran produktif dan peran sosial. Peran reproduktif
merupakan peranan di wilayah domestik yang terkait dengan tugas kerumahtanggaan
seperti menyiapkan makanan, mengasuh dan mendidik anak. Selanjutnya, peran
produktif adalah peran diwilayah publik yang menghasilkan barang dan jasa baik
untuk dikonsumsi maupun untuk diperjualbelikan. Terakhir, peran sosial
merupakan peran yang berkaitan dengan partisipasi politik.[4]
B.
Peran Perempuan
Secara kultur dan fakta empiris, perempuan
memiliki keunggulan prima dalam menghadapi krisis internal dan eksternal yang
dihadapi.
1. Secara kultural, wanita berperan
sebagai pengatur kenyamanan psikologis keluarga. Contoh : hampir semua
penelitian tentang perempuan selalu pada simpulan yaitu “seorang ibu memiliki
etos tinggi dan selalu berkorban serta mendahulukan kepentingan keluarga
terutama anak.” Dengan kata lain, jika seorang ibu bekerja mencari nafkah maka
kegiatan itu dilakukan demi meningkatkan pendapatan keluarga (pendapatan dari
suami) yang secara tidak langsung meningkatkan kesejahteraan keluarga.
2.
Secara empiris-historis, wanita lebih tabah (karena tersosialisasi
lebih pasrah) dibandingkan pria didalam kemelut hidupnya. Contoh : pada kasus
kepala keluarga (KK) terPHK, kecermatan dan kecerdikan istri dalam mengelola
aset keluarga untuk bertahan hidup menjadi mutlak. Kepiawaian istri sebagai
pengelolaan atau manejer rumah tangga sangat krusial dalam mengatur
pengeluaraan keluarga. Tindakan penghematan yang kelihatan kecil dan sepele
pada masa krismon telah diterapkan, oleh para wanita, sebagai strategi
kemandirian pemenuhan kebutuhan hidup (subsisten). Ide ini mungkin akan
dianggap sebagai tindakan kemunduran (oleh kelompok modernis), tetapi efektif
untuk menyiasati keterdesakan hidup keluarga. Yang diperlukan adalah kemampuan
dan keberanian bertindak back to basic atau back to nature yatu
manfaatkan berbagai sumberdaya dan potensi ekonomi keluarga sehemat dan
seefisien mungkin dengan memakai berbagai bahan yang dapat disediakan sendiri
oleh tiap keluarga.[5]
Peran perempuan Indonesia sudah sejak lama tersosialisasi oleh budaya
berciri parttikularistik, permanen, repetitive, dan endles.
Akibatnya, perempuan berperan diranah domestik, yaitu mengurus rumahtangga,
suami dan anak dan peran laki-laki adalah ranah publik (mencari nafkah),
sebagai padanannya. Pengamatan empiris ternyata menunjukkan bahwa perempuan
Indonesia telah lama aktif terlibat dalam urusan publik, baik dalam kegiatan
sosial atau mencari nafkah. Pergeseran streotipi model peran perempuan
ini menjadi semakin nyata dan sulit untuk diputar mundur.[6]
Pada level masyarakat, tipe masyarakat mereprentasikan peran yang
ditampilakan oleh seorang perempuan. Analisis peran perempuan dapat dilakukan
dari perspektif posisi mereka dalam berurusan dengan pekerjaan produktif tidak
langsung (domestik) dan pekerjaan produktif langsung (publik), yaitu sebagai
berikut :
1. Peran tradisi menempatkan perempuan dalam
fungsi reproduksi (mengurus rumahtangga, melahirkan dan mengasuh anak, serta
mengayomi suami). Hidupnya 100% untuk keluarga. Pembagian kerja sangat jelas,
yaitu perempuan di rumah dan lelaki di luar rumah.
2. Peran transisi mempolakan peran tradisi lebih
utama dari peran yang lain. Pembagian tugas mengikuti aspirasi gender, tetapi
eksistensinya mempertahankan keharmonisan dan urusan rumahtangga tetap tanggung
jawab perempuan.
3. Dwiperan memposisikan perempuan dalam
kehidupan dua dunia, yaitu menempatkan peran domestik dan publik dalam posisi
sama penting. Dukungan moral suami pemicu ketegaran atau sebaliknaya keengganan
suami akan memicu keresahan atau bahkan menimbulkan konflik terbuka atau terpendam.
4. Peran egalitarian menyita waktu dan perhatian
perempuan untuk kegiatan di luar. Dukungan moral dan tingkat kepedulian lelaki
sangat hakiki untuk menghindari konflik kepentingan pemilahan dan
pendistribusian peranan. Jika tidak, yang terjadi adalah masing-masing akan
saling berargumen untuk mencari pembenaran atau menumbuhkan ketidaknyamanan
suasana kehidupan berkeluarga.
5. Peran kontempoler, adalah dampak pilihan
perempuan untuk mandiri dalam kemandirian. Jumlahnya belum banyak. Akan tetapi
benturan demi benturan dari dominasi lelaki atas perempuan yang belum terlalu
peduli pada kepentingan perempuan mungkin akan meninggalkan populasinya.[7]
C.
Peran Perempuan dari Zaman ke Zaman
Pada zaman pertengahan dan permulaan abad
modern, agama merupakan unsur yang paling penting dalam menentukan kedudukan
perempuan. Ajaran agama Islam pada tahun 700-1200an, menetapkan bahwa perempuan
menikah harus patuh pada suami. Lelaki masih diperkenankan memiliki istri lebih
dari satu, (karena sebelumnya ada yang memiliki lebih dari 4 iatri) dan
perempuan Islam mempunyai hak pemilikan cerai dari suami. Sebelum tahun 1800,
perempuan diperbolehkan bekerja sebagai mitra lelaki, dengan syarat perempuan
tidak boleh meninggalkan rumah. Perempuan yang bekerja diluar rumah tidak
memiliki hak untuk memakai atau membelanjakan uang perolehan mereka untuk
keperluan sendiri. pada tahun yang sama perempuan memiliki hak suara untuk
bidak politik dan perdagangan, walau masih sangat sedikit. Bahkan
dinegara-negara Eropa perempuan dilarang mempunyai hak milik dan profesi
tertentu. Menurut hukum Inggris suami-suamilah yang menguasai istri-istri
mereka dan menguasai hak milik yang dimiliki oleh perempuan mereka sebelum
dinikahi.
Revolusi industri tahun1700an, dan awal tahun
1800 di negara-negara industri membawa banyak perubahana pada kehidupan
masyarakat diberbagai negara. Kekurangan tenaga kerja lelaki menyebabkan
terdorong dan didorongnya perempuan untuk bekerja diluar rumah, yaitu disektor
industri. Pada waktu itu, perempuan yang belum bekerja lebih bebas, dilihat
dari sudut kebebasan mereka membelanjakan uang hasil kerja mereka, selain dapat
ditabung, dan untuk keperluan pendidikan. Sedangkan perempuan menikah tidak
memiliki hak untuk mempergunakan uang hasil kerja mereka, sesuai dengan
kehendaknya, karena mereka dikuasai oleh suami.
Pada tahun 1800an, Gerakan Women Right
Movements mulai berkembang ketika revolusi sosial dan politik terjadi di
berbagai negara. Berbagai group di Eropa dan Amerika mulai memperdebatkan
peranan perempuan diberbagai lingkunganusaha, keluarga, politik dan masyarakat.
Usaha-usaha yang terorganisir untuk membantu meningkatkan status perempuan,
pada pertama kalinya, muncul di Amerika Serikat.
Di bidang pendidikan dan ketenagakerjaan peran
perempuan berangsur-angsur meningkat sampai awal tahun 1900. Pada tahun 1848 Queen’s
College (untuk perempuan) di buka di London. Women’s Colleges lainnya
mengikuti, tetapi perempuan tidak diperkenankan kuliah bersama-sama dengan
lelaki. Bahkan pada tahun 1884-1920 Oxpord University tidak menerima perempuan
sebagai Full Time Student. Baru pada tahun 1920, perempuan Inggris mulai
diperbolehkan bekerja diluar rumah yaitu di pabrik. Karena revolusi inustri
menyebabkan kekurangan tenaga kerja. Tetapi, dibidang lannya perempuan masih
tetap tidak diperbolehkan bekerja, sedangkan di Prancis baru tahun 1881, untuk
pertama kalinya, perempuan bersuami, dan bekerja di pabrik boleh membuka
rekening tabungan tanpa ijin suami dan atau memakai nama suami. Sedangan
perempuan laninnya yang bekerja selain dipabrik baru diperbolehkan sekitar
tahun 1907an.
Pada saat perang dunia ke-1 (1914-1918) dan
perang dunia ke-2 (1939-1945), perempuan yang sedang perang mengambil alih
pekerjaan-pekerjaan yang semula dilakukan oleh lelaki, karena laki-laki
diprioritaskan untuk maju kemedan perang. Di Amerika Serikat dikabarkan hampir
18 juta perempuan bekerja ditempat pembuatan sejata selama perang dunia ke-2.
Akan tetapi, setelah perang usai perempuan kembali kepekerjaan semula yaitu di
rumhtangga. Sampai tahun 1990 hanya sedikit kampanye yang dilakukan kaum
perempuan untuk tambahan hak.
Pada tahun 1970an, sudah lebih banyak wanita
yang berkuliah dan memegang berbagai macam pekerjaan atau jabatan dibanding
dengan tahun sebelumnya. Perempuan memiliki hak suara dan ikut menduduki jabatan
penting di pemerintahan di hampir semua negara yang mempunyai prosedur
pemilihan umm, termasuk di Indonesia (sejak tahun 1950an). Salah satu dokumen
dari PBB yang mengurusi status perempuan, menyatakan bahwa perkawinan tidak
dapat dilaksanakan kecuali atas dasar persetujuan pria dan wanita yang
bersangkuatan secara sukarela. Hal ini bertujuan untuk melindungi perempuan
dari kawin paksa.[8]
Lantas bagaimana dengan Indonesia, perempuan
Indonesia secara de facto telah memperoleh hak dan kewajiban, tugas pekerjaan,
wewenang dan tanggungjawab yang sama dengan lelaki. Akan tetapi dalam
realisasinya masih banyak hambatan dan kendala yang masih terus perlu
diperjuangkan. Dalam konteks perempuan muslim, pada tahun 1935, di Sumatra
Barat, telah timbul gerakan perempuan muslim untuk memperjuangkan nasib mereka.
Mereka tergabung dalam Persatuan Muslim Indonesia (Permi).
Beberapa pemikiran yang disampaikan pada
kongres Wanita Indonesia, antara lain :
1. Suatu sumpah dan keyakinan, bahwa wanita dan
laki-laki memiliki hak yang sama.
2. Mendirikan badan pemberantasan buta huruf.
3. Perlu adanya badan-badan (organisasi) wanita.
4. Didirikan badan perawatan kesehatan perempuan.
5. Kedudukan wanita menurut Islam harus
dipelajari secara cermat.
Dengan demikian, gerakan pemikiran pemberdayaan
terhadap perempuan Muslim di Indonesia sebetulnya sudah lama. Akan tetapi
pemerintahan masih belum sepenuhnya mendukung , selain organisasi khusus
perempuan juga belum terorganisasi dengan baik (LSM, organisasi lain) dan juga
kepedulian kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya tentang nasib perempuan
masih rendah. Tetapi diera global ini, Indonesia sudah mengalami kemajuan dalam
berbagai bidang pada tarap kesetaraan terhadap kaum perempuan.[9]


0 comments: