Gender and Social Role

19:33 Zilenial School 0 Comments




Istilah peran mengacu pada sekumpulan norma prilaku yang berlaku untuk sebuah posisi dalam struktur sosial. Norma-norma yang dimaksud disini adalah sekumpulan atau satu set ekspektasi mengenai peran yang harus ditampilkan, bagaimana menyikapi orang lain ketika  menampilkan peranannya, sekaligus juga bagaimana seseorang menerima peran tersebut. Dalam bentuknya yang ideal peran tampilan adalah peran yang diharapkan ditambah dengan peran yang diterima yang kedua-duanya bersifat pengaruh mempengaruhi atau dengan kata lain adanya hubungan timbal balik diantara harapan dan yang diterima.
Konsep peran hanyalah suatu pengelompokan istilah yang digunakan untuk mempelajari prilaku seseorang. Peran adalah aspek yang dinamis diantara status yang sudah terpola yang berkaitan dengan hak serta kewajiban. Peran berhubungan dengan status seseorang yang terpola yang dipengaruhi oleh seperangkat harapan orang lain dan yang ditampilkan oleh orang lain yang bersangkutan. Pelaksanaan peran ini dipengaruhi oleh citra ( image) yang ditampilkan oleh seseorang yang bersangkutan. Dengan demikian peran adalah budaya yang dihubungkan dengan status seseorang yang bersangkutan. penilaian terhadap peran itu sendiri sudah mencakup baik serta buruk, banyak, sedikit atau bahkan tinggi dan rendah. Pada intinya status dan peran itu saling melengkapi satu sama lainnya.[1] Jadi secara singkat, Peran adalah prilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai suatu status.[2]
Menurut Aida Vitayala S. Hubeis dalam bukunya yang berjudul “Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa” menyatakan bahwa hakikat peranan meliputi hal-hal beirukut :
1.      Peran adalah aspek dinamis dari status yang sudah terpola yang berada dalam hak dan kewajiban.
2.      Peran berhubungan dengan status seseorang pada kelompok tertentu atau situasi tertentu yang dipengaruhi oleh sesuatu yang diharapkan orang lain terhadap perilaku yang seharusnya ditampilkan oleh seseorang yang bersangkutan.
3.      Pelaksanaan suatu peran dipengaruhi oleh citra (image) yang ingin dikembangkan oleh seseorang. Dengan demikian peran adalah keseluruhan pola budaya yang dihubungkan dengan satus individu yang bersangkutan.
4.      Penilaian terhadap keragaan suatu peran sudah menyangkut nilai baik, buruk, tinggi atau rendah atu banyak, sedikit. Peran gender yang dibebankan pada seseorang atau sekelompok orang yang didalam sesuatu masyarakat ditentukan oleh keadaan mereka sebagai perempuan atau lelaki yang sudah mencakup penilaian.[3]
Sebagai contoh yang dari pemaparan diatas adalah sebagai berikut : Kesepakatan umum untuk peran seorang ibu adalah merawat anak dan peran ayah adalah menghidupi keluarga. Dua peranan tersebut berhubungan dengan serangkaian tingkah laku, konsekuensi dan nilai-nilai sosial. Jika dipandang tidak sesuai semisal ibu tidak merawat anak atau ayah tidak menghidupi keluarga maka masyarakat akan memberikan sanksi atau penilaian tertentu, seperti ibu dan ayah yang tidak bertanggung jawab.

2.      Peran Gender
Peran Gender Merupakan kesepakatan kesepakatan pandangan dalam masyarakat dan budaya tertentu perihal perihal ketepatan dan kelaziman bertindak untuk jenis kelamin tertentu. Setiap masyarakat mempunyai konsep peranan gender yang berbeda-beda dan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu.  Peran gender dapat mengalami perubahan seiring dengan perubahan tatanan sosial, ekonomi di tingkat lingkungan masyarakat dan kesepakatan bersama untuk lingkungan perseorangan.
Secara universal peranan gender terbagi menjadi tiga jenis peranan, yaitu peran reproduktif, peran produktif dan peran sosial. Peran reproduktif merupakan peranan di wilayah domestik yang terkait dengan tugas kerumahtanggaan seperti menyiapkan makanan, mengasuh dan mendidik anak. Selanjutnya, peran produktif adalah peran diwilayah publik yang menghasilkan barang dan jasa baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperjualbelikan. Terakhir, peran sosial merupakan peran yang berkaitan dengan partisipasi politik.[4]
B.     Peran Perempuan
Secara kultur dan fakta empiris, perempuan memiliki keunggulan prima dalam menghadapi krisis internal dan eksternal yang dihadapi.
1.      Secara kultural, wanita berperan sebagai pengatur kenyamanan psikologis keluarga. Contoh : hampir semua penelitian tentang perempuan selalu pada simpulan yaitu “seorang ibu memiliki etos tinggi dan selalu berkorban serta mendahulukan kepentingan keluarga terutama anak.” Dengan kata lain, jika seorang ibu bekerja mencari nafkah maka kegiatan itu dilakukan demi meningkatkan pendapatan keluarga (pendapatan dari suami) yang secara tidak langsung meningkatkan kesejahteraan keluarga.
2.      Secara empiris-historis, wanita lebih tabah (karena tersosialisasi lebih pasrah) dibandingkan pria didalam kemelut hidupnya. Contoh : pada kasus kepala keluarga (KK) terPHK, kecermatan dan kecerdikan istri dalam mengelola aset keluarga untuk bertahan hidup menjadi mutlak. Kepiawaian istri sebagai pengelolaan atau manejer rumah tangga sangat krusial dalam mengatur pengeluaraan keluarga. Tindakan penghematan yang kelihatan kecil dan sepele pada masa krismon telah diterapkan, oleh para wanita, sebagai strategi kemandirian pemenuhan kebutuhan hidup (subsisten). Ide ini mungkin akan dianggap sebagai tindakan kemunduran (oleh kelompok modernis), tetapi efektif untuk menyiasati keterdesakan hidup keluarga. Yang diperlukan adalah kemampuan dan keberanian bertindak back to basic atau back to nature yatu manfaatkan berbagai sumberdaya dan potensi ekonomi keluarga sehemat dan seefisien mungkin dengan memakai berbagai bahan yang dapat disediakan sendiri oleh tiap keluarga.[5]
Peran perempuan Indonesia sudah sejak lama tersosialisasi oleh budaya berciri parttikularistik, permanen, repetitive, dan endles. Akibatnya, perempuan berperan diranah domestik, yaitu mengurus rumahtangga, suami dan anak dan peran laki-laki adalah ranah publik (mencari nafkah), sebagai padanannya. Pengamatan empiris ternyata menunjukkan bahwa perempuan Indonesia telah lama aktif terlibat dalam urusan publik, baik dalam kegiatan sosial atau mencari nafkah. Pergeseran streotipi model peran perempuan ini menjadi semakin nyata dan sulit untuk diputar mundur.[6]
Pada level masyarakat, tipe masyarakat mereprentasikan peran yang ditampilakan oleh seorang perempuan. Analisis peran perempuan dapat dilakukan dari perspektif posisi mereka dalam berurusan dengan pekerjaan produktif tidak langsung (domestik) dan pekerjaan produktif langsung (publik), yaitu sebagai berikut :
1.      Peran tradisi menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi (mengurus rumahtangga, melahirkan dan mengasuh anak, serta mengayomi suami). Hidupnya 100% untuk keluarga. Pembagian kerja sangat jelas, yaitu perempuan di rumah dan lelaki di luar rumah.
2.      Peran transisi mempolakan peran tradisi lebih utama dari peran yang lain. Pembagian tugas mengikuti aspirasi gender, tetapi eksistensinya mempertahankan keharmonisan dan urusan rumahtangga tetap tanggung jawab perempuan.
3.      Dwiperan memposisikan perempuan dalam kehidupan dua dunia, yaitu menempatkan peran domestik dan publik dalam posisi sama penting. Dukungan moral suami pemicu ketegaran atau sebaliknaya keengganan suami akan memicu keresahan atau bahkan menimbulkan konflik terbuka atau terpendam.
4.      Peran egalitarian menyita waktu dan perhatian perempuan untuk kegiatan di luar. Dukungan moral dan tingkat kepedulian lelaki sangat hakiki untuk menghindari konflik kepentingan pemilahan dan pendistribusian peranan. Jika tidak, yang terjadi adalah masing-masing akan saling berargumen untuk mencari pembenaran atau menumbuhkan ketidaknyamanan suasana kehidupan berkeluarga.
5.      Peran kontempoler, adalah dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam kemandirian. Jumlahnya belum banyak. Akan tetapi benturan demi benturan dari dominasi lelaki atas perempuan yang belum terlalu peduli pada kepentingan perempuan mungkin akan meninggalkan populasinya.[7]

C.    Peran Perempuan dari Zaman ke Zaman
Pada zaman pertengahan dan permulaan abad modern, agama merupakan unsur yang paling penting dalam menentukan kedudukan perempuan. Ajaran agama Islam pada tahun 700-1200an, menetapkan bahwa perempuan menikah harus patuh pada suami. Lelaki masih diperkenankan memiliki istri lebih dari satu, (karena sebelumnya ada yang memiliki lebih dari 4 iatri) dan perempuan Islam mempunyai hak pemilikan cerai dari suami. Sebelum tahun 1800, perempuan diperbolehkan bekerja sebagai mitra lelaki, dengan syarat perempuan tidak boleh meninggalkan rumah. Perempuan yang bekerja diluar rumah tidak memiliki hak untuk memakai atau membelanjakan uang perolehan mereka untuk keperluan sendiri. pada tahun yang sama perempuan memiliki hak suara untuk bidak politik dan perdagangan, walau masih sangat sedikit. Bahkan dinegara-negara Eropa perempuan dilarang mempunyai hak milik dan profesi tertentu. Menurut hukum Inggris suami-suamilah yang menguasai istri-istri mereka dan menguasai hak milik yang dimiliki oleh perempuan mereka sebelum dinikahi.
Revolusi industri tahun1700an, dan awal tahun 1800 di negara-negara industri membawa banyak perubahana pada kehidupan masyarakat diberbagai negara. Kekurangan tenaga kerja lelaki menyebabkan terdorong dan didorongnya perempuan untuk bekerja diluar rumah, yaitu disektor industri. Pada waktu itu, perempuan yang belum bekerja lebih bebas, dilihat dari sudut kebebasan mereka membelanjakan uang hasil kerja mereka, selain dapat ditabung, dan untuk keperluan pendidikan. Sedangkan perempuan menikah tidak memiliki hak untuk mempergunakan uang hasil kerja mereka, sesuai dengan kehendaknya, karena mereka dikuasai oleh suami.
Pada tahun 1800an, Gerakan Women Right Movements mulai berkembang ketika revolusi sosial dan politik terjadi di berbagai negara. Berbagai group di Eropa dan Amerika mulai memperdebatkan peranan perempuan diberbagai lingkunganusaha, keluarga, politik dan masyarakat. Usaha-usaha yang terorganisir untuk membantu meningkatkan status perempuan, pada pertama kalinya, muncul di Amerika Serikat.
Di bidang pendidikan dan ketenagakerjaan peran perempuan berangsur-angsur meningkat sampai awal tahun 1900. Pada tahun 1848 Queen’s College (untuk perempuan) di buka di London. Women’s Colleges lainnya mengikuti, tetapi perempuan tidak diperkenankan kuliah bersama-sama dengan lelaki. Bahkan pada tahun 1884-1920 Oxpord University tidak menerima perempuan sebagai Full Time Student. Baru pada tahun 1920, perempuan Inggris mulai diperbolehkan bekerja diluar rumah yaitu di pabrik. Karena revolusi inustri menyebabkan kekurangan tenaga kerja. Tetapi, dibidang lannya perempuan masih tetap tidak diperbolehkan bekerja, sedangkan di Prancis baru tahun 1881, untuk pertama kalinya, perempuan bersuami, dan bekerja di pabrik boleh membuka rekening tabungan tanpa ijin suami dan atau memakai nama suami. Sedangan perempuan laninnya yang bekerja selain dipabrik baru diperbolehkan sekitar tahun 1907an.
Pada saat perang dunia ke-1 (1914-1918) dan perang dunia ke-2 (1939-1945), perempuan yang sedang perang mengambil alih pekerjaan-pekerjaan yang semula dilakukan oleh lelaki, karena laki-laki diprioritaskan untuk maju kemedan perang. Di Amerika Serikat dikabarkan hampir 18 juta perempuan bekerja ditempat pembuatan sejata selama perang dunia ke-2. Akan tetapi, setelah perang usai perempuan kembali kepekerjaan semula yaitu di rumhtangga. Sampai tahun 1990 hanya sedikit kampanye yang dilakukan kaum perempuan untuk tambahan hak.
Pada tahun 1970an, sudah lebih banyak wanita yang berkuliah dan memegang berbagai macam pekerjaan atau jabatan dibanding dengan tahun sebelumnya. Perempuan memiliki hak suara dan ikut menduduki jabatan penting di pemerintahan di hampir semua negara yang mempunyai prosedur pemilihan umm, termasuk di Indonesia (sejak tahun 1950an). Salah satu dokumen dari PBB yang mengurusi status perempuan, menyatakan bahwa perkawinan tidak dapat dilaksanakan kecuali atas dasar persetujuan pria dan wanita yang bersangkuatan secara sukarela. Hal ini bertujuan untuk melindungi perempuan dari kawin paksa.[8]
Lantas bagaimana dengan Indonesia, perempuan Indonesia secara de facto telah memperoleh hak dan kewajiban, tugas pekerjaan, wewenang dan tanggungjawab yang sama dengan lelaki. Akan tetapi dalam realisasinya masih banyak hambatan dan kendala yang masih terus perlu diperjuangkan. Dalam konteks perempuan muslim, pada tahun 1935, di Sumatra Barat, telah timbul gerakan perempuan muslim untuk memperjuangkan nasib mereka. Mereka tergabung dalam Persatuan Muslim Indonesia (Permi).
Beberapa pemikiran yang disampaikan pada kongres Wanita Indonesia, antara lain :
1.      Suatu sumpah dan keyakinan, bahwa wanita dan laki-laki memiliki hak yang sama.
2.      Mendirikan badan pemberantasan buta huruf.
3.      Perlu adanya badan-badan (organisasi) wanita.
4.      Didirikan badan perawatan kesehatan perempuan.
5.      Kedudukan wanita menurut Islam harus dipelajari secara cermat.
Dengan demikian, gerakan pemikiran pemberdayaan terhadap perempuan Muslim di Indonesia sebetulnya sudah lama. Akan tetapi pemerintahan masih belum sepenuhnya mendukung , selain organisasi khusus perempuan juga belum terorganisasi dengan baik (LSM, organisasi lain) dan juga kepedulian kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya tentang nasib perempuan masih rendah. Tetapi diera global ini, Indonesia sudah mengalami kemajuan dalam berbagai bidang pada tarap kesetaraan terhadap kaum perempuan.[9]



[1] Aida Vitayala S. Hubeis, Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa, (Bogor: IPB Press, 2010). H. 141-142
[2] Paul B Horton, dkk. Sosiologi, terj.Aminuddin Ram,dkk. (Jakarta : Erlangga, 1984). H. 118
[3] Hubeis, Op.cit., h. 80
[4] Ibid., h. 83 - 84
[5] Ibid., h. 315
[6] Ibid., h. 217
[7] Ibid., h. 146
[8] Ibid 267-270
[9] Ibid., h. 271

You Might Also Like

0 comments: