Profil UKM Women Studies Centre - KBM UIN SGD Bandung

PROFIL UKM WSC
(WOMEN'S STUDIES CENTRE)




Manusia merupakan mahluk Tuhan yang paling mulia, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Keduanya telah dipercayai dalam mengelola alam semesta, dalam hal ini bumi beserta isinya. Hal ini telah kita jelaskan dalam firman-Nya. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mendiskriminasi salah satu dari keduanya. Akan tetapi ketika melihat realitas saat ini ternyata tataran normative idealis yaitu, nilai-nilai Islam yang memuat prinsip-prinsip egaliter, keadilan, dan kemerdekaan tidak sesuai dengan tataran historis empiris. Ini terbukti dari adanya proses dehumanisasi terhadap salah satu jenis kelamin tertentu yaitu perempuan. Selain itu ilmu-ilmu sosial juga memperkuat proses dehumanisasi ini dengan menyumbangkan ilmu-ilmu yang tidak sensitif gender. Karena kebanyakan ilmuwan adalah laki-laki sehingga ilmu sosial bersifat seksis, karena konsep-konsep serta bangunan ilmu itu secara sistematis telah menggeser peran serta perempuan dalam ranah keilmuan.
Berangkat dari persoalan di atas, maka beberapa lembaga perempuan menjadi suatu yang niscaya mengikat keberadaan ilmu-ilmu yang seksis serta pemahaman-pemahaman keagamaan yang bias gender. Oleh karen itu diperlukan sebuah paradigma alternatif yang lebih memberikan harapan bagi tatanan sosial yang adil serta sensitif gender di lingkungan kampus. Maka, lahirlah cara pandang perempuan yang di inspirasikan dari kehidupan nyata yang mengakomodir kepentingan kaum perempuan. Bersamaan dengan itu, diperlukan sebuah alat analisis yang disebut dengan analisis gender.
Begitu mengkristalnya budaya patriarki dalam masyarakat, menjadi “kananga panti daksa darbah waada” yang salah dalam praktek kehidupan ini. Bahkan kaum perempuan yang mengalami bentuk ketidakadilan gender tidak menyadarinya. Oleh karena itu diperlukan adanya sebuah penyadaran terhadap masyarakat. Dimana perbedaan biologis anatara laki-laki dan perempuan tidak menjadi alasan atas adanya hierarki antara keduanya dalam peran dan fungsinya di masyarakat. Karena jenis kelamin tidak menjamin bentukannya peran gender. Akan tetapi, peran gender dibentuk oleh lingkungan dimana seseorang itu tinggal dan hal ini bisa berubah menurut ruang dan waktu. Dalam perjuangan mengembalikan eksistensi perempuan di masyarakat sebagai manusia yang setara, yaitu minimal dengan memiliki skala prioritas. Dalam skala priritas ini kaum laki-laki harus dilibatkan, dalam hal ini harus ada relasi antara kaum laki-laki dan perempuan yang bersifat sosio-antropologis. Karena ketika tidak ada perbedaan derajat nanti (laki-laki dan perempuan) akan menghasilkan kesinambungan dan kejasama yang harmonis dan sinergis antara kedua belah pihak dalam memproses dan mempresepsikan kehidupan yang dihadapi.
Banyak pandangan keliru tentang perempuan, dimana perempuan dipandang rendah, lemah dan tidak dapat bersaing dari kaum laki-laki sehingga hal inilah yang melahirkan banyak terjadinya diskriminasi terhadap kaum prempuan seperti marjinalisasi, subordinasi dan diskriminasi.
Hiruk-pikuk isu-isu perempuan ini ditandai dengan adanya kajian-kajian, diskusi dan seminar yang digelar oleh instansi ataupun kaum intelektual seperti mahasiswa, agamawan, sastrawan dan elemen masyarakat yang mereka lakukan secara intensif  untuk menjawab permasalah mengapa ketidakadilan gender terjadi di masyarakat.
Maka dari itu, Women Studies Centre  (Pusat Kajian Perempuan) merupakan salah satu lembaga kemahasiswaan yang bergerak di bidang nalar intelektual khususnya mengkaji isu-isu perempuan. Hal ini dilakukan demi terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. (baik laki-laki maupun perempuan). Dan tidak menutup kemungkinan laki-lakipun ikut serta dalam kajian dan berpartisipasi untuk terwujudnya lingkungan kampus yang sensitif gender.
Oleh karena itu, WSC sebagai pusat kajian perempuan berperan untuk memberdayakan kaum perempuan untuk mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya, sehingga perempuan tidak dipandang sebelah mata oleh laki-laki tetapi dijadikan mitra sejajar dalam kehidupan.

Sejarah Women Studies Centre
Berdasarkan tujuan awal WSC dalam masalah global tentang diskursus Feminis atau Gender, maka sebagai kaum perempuan (Mahasiswi dari berbagai jurusan di UIN SGD Bandung) yang memiliki ide serta tujuan yang sama, juga memiliki perhatian yang sangat besar terhadap perempuan. Maka dari sini lahirlah WSC pada tanggal 22 Desember 1994 yang bertepatan dengan hari ibu, yang merupakan organisasi intra kampus yang disebut Unik Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang mengkaji tentang isu-isu perempuan dengan nama Women Studies Centre.

Tujuan Women Studies Centre (WSC)

Terciptanya sensitivitas gender di kalangan civitas akademis UIN Sunan Gunung Djati Bandung, serta terciptanya insan-insan berkualitas dan sadar akan tanggungjawabnya terhadap kemajuan perempuan baik intern kampus maupun ekstern kampus yang disesuaikan dengan potensi yang dimilikinya.

Pengertian dan Konsep Analisis Gender




Dalam islam umumnya dan dalam peradaban bangsa melayu pada khususnya, tiada kata yang tepat untuk menunjukan istilah gender. Skenario ini tidak bermakna, dalam tradisi masyarakat muslim tidak sembarang persoalan gender dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Namu, ajaran dan prinsip islam dan norma dalam tradisi masyarakat muslim menjadi hubungan timbal balik, dalam menentukan pola hubungan diantara keduanya.
Justru isltialh gender diambil dari bahasa arab Al-Jindar Atau Alnaw-Al-Ijtima’i  dalam bahasa melayu dengan ejaana yang sama yaitu gender. Istilah gender mula digunakan dalam bidang psikoanalisis sebelum dikembangkan dalam wacana feminisme. [1]
Gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial. Gender adalah kelompok atribut dan prilaku yang dibentuk secara kultural yanga da pada laki-laki dan perempuana.[2]
Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural oleh masyarakat.[3] Misalnya, bahwa perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, maskulin, rasional, jantan, perkasa, tegas dll. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang bisa dipertentukan. Artinya hal tersebut bisa berubah sesuai dengan kondisi dan keadaan si manusia itu sendiri. Terutama dalam lingkungan sosial.
Margaret mead menyatakan bahwa jenis kelmin adalah biologis, dan prilaku gender adalah prilaku kontruksi sosial. Sedangkan meurut oakley (1972 dalam fakih, 1977) menjelaskan bahwa gender adalah pembagian laki-laki dan perempuan yang dikontruksi secara sosial maupun kultural.
Gender adalah konsep hubungan sosial yang membedakan (memilah atau memisahkan) fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan fungsi dan peran ini tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan meurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Heyzer (1981:14) meneberi definisi gender. Gender merupakan bentuk setelah kelahiran yaitu dikembangkan dan di internalisasi oleh orang-orang dan lingkungan mereka.[4]  Echos dan shadily menyebutkan bahwa gender adalah perbedaan yng tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku.[5]



[1] Pada tahun 1976, istilah ini mula digunakan dalam bengkel “Subordination of Women” di University of Sussex. Lihat Jane L. Parpart et al., eds. Theoretical Perspectives on Gender and Development (Ottawa, Kanada: International Development Research Centre (IDRC), 2000), 37.
[2] J.Dwi Narwoko Dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan, Jakarta: Prenada Msedia Group, 2005. H. 334.
[3] Mansoer Fakih, Analisis Gender Dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. H. 8.
[4] J.dwi narwoko dan bagong suyanto.
[5] Echos dan sadily, 1983. H. 265.

Wacana Gender dalam Islam




Wacana gender dalam hukum islam, ada tiga wujud yang berbeda. Yaitu aliran konservatif, liberal dan sederhana.[1] Aliran konservatif dikenal juga sebagai ;pola tradisionalis reduksioni s yang menolak dan menafikan sama sekali kewujudan bias gender dalam fiqih islam. Pola ini yang rata-ratanya dipegang kuat oleh kalangan para ulama tradisional dipedesaan. Mereka menolak benar-benar kehadiran isu gender dan feminisme. Dengan berpandangan para kalangan ulama ini menganggap bahwa wanita hanya cukup di ranah domestik saja, wajib menutup mata dan psntsng bagi wnaita untuk bekerja lebih dari pada pria.
Aliran liberal rata-ratanya terdiri dari kalangan laki-laki dan wanita yang mendapat didikan dari kalangan atau pendidikan liberal barat, terutama setelah pasca modernis. Banyak diantara mereka terpengaruh oleh gerakan feminis barat yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Mereka melakukan demaskulinisasi epistimologi ilmu agama, dan merombak sistem patriarki-ortodoksi dalam masyarakat muslim dunia.
Sebagai contoh, pewaris laki-laki dan wanita meski dalam jumlah yang sama bagi melambangkan kesetaraan gender. Aliran ini dapat dilihat dalam pemikiran sahrour, arkoun dan lainya.
Ditengah-tengah pertentangan dua hal tersebut, lahirlah gerakan sederhana atau moderat yang menerima isu-isu gender dalam batas tertentu selagi dalam koridor islam. Mereka lebih melihat sisi postitifnya dalam dua pandangan tersebut yaitu bagi orang-orang yang melarang atau menolak sama sekali dan menilai pandangan feminis-liberalis kontekstualis. Meraka yang mengambil keputusan ini bahwa dalam islam ada hal-hal yang semestinya fleksibel. Dengan berlandasan realita sosial yang ada dimasayarakat.
Contohnya, isu poligami. Boleh melakukan hal tersebut asalkan dengan sayarat-syarat tertentu dalam melakukannya, tidak sembarang ornag yang berhak malkukanya. Tentang kepemimpinan wanita, yang banyak diuangkapkan Imam Al-Gazali Dan Yusup Alqhordawi.



[1] Jajat Burhanudin, Dan Oman Faturrahman, Tentang Perempuan Islam: Wacana Dan Gerakan. Jakarta: Gramedia Pustakan Utama, 2004.H. 187-205. 

Gender dalam Panggung Sejarah




Gender. mungkin kita sudah tidak asing dengan istilah ini. Istilah gender sering diartikan sebagai sebuah kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Untuk memahami konsep gender, harus dibedakan kata gender dengan kata sex (jenis kelamin). Definisi jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan tuhan (kodrat)[1].
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2012, gender diartikan sebagai seperangkat peran, perilaku, kegiatan dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan. Gender mengacu pada peran yang dikonstruksikan masyarakat dan perilaku-perilaku yang dipelajari serta harapan-harapan yang dikaitkan pada perempuan dan pada laki-laki. Seperti ras, suku, maupun kelas.
Pembahasan tentang sejarah dan perkembangan gender tidak bisa terlepas dari sejarah pergerakan kaum feminisme di Barat. Kata feminis pertama kali ditemukan pada awal ke-19 oleh seorang sosialis berkebangsaan Perancis, yaitu Charles Fourier. Terdapat perbedaan pendapat antara ilmuan tentang sejarah munculnya istilah feminisme. Istilah Feminisme berasal dari bahasa Latin Femina (perempuan).
Istilah feminis sebagai nama suatu pergerakan aktivis perempuan dalam memperjuangkan hak mereka bukanlah yang pertama dalam tatanan bahasa. Sebelum istilah ini muncul, kata-kata seperti womanism, the woman movement, atau woman question telah digunakan terlebih dahulu. Seiring berkembangnya gerakan kelompok feminisme ini, istilah-istilah di atas berubah menjadi feminisme hingga sekarang.
Gerakan feminisme berkembang dengan baik tidak hanya di Barat tetapi juga di Negara-negara timur. Salah satu faktor yang mendorong cepatnya gerakan femenisme adalah gerakan ini menjadi gelombang akademik di universitas-universitas, melalui progam women studies. Bahkan gerakan ini mampu menyentuh bidang politik dimana gerakan perempuan ini telah mendapat “restu” dari perserikatan Bangsa-bangsa dengan dikeluarkannya CEDAW (Convention on the Eliminating of All Farms of Discriminating Against Women).
Dua feminis yang terkemuka, Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton, pada tahun 1848 mengorganisir pertemuan akbar Konvensi Hak-Hak Perempuan di Seneca Falls  yang dihadiri oleh 300 peserta laki-laki dan perempuan. Pertemuan itu kemudian menghasilkan  deklarasi yang menuntut reformasi hukum-hukum perkawinan, perceraian, properti  dan anak. Di dalam deklarasi tersebut mereka memberi penekanan kepada hak perempuan  untuk berbicara dan berpendapat di dunia publik. Konvensi di Seneca Falls merupakan bentuk protes kaum perempuan terhadap pertemuan akbar konvensi penghapusan perbudakan sedunia pada taun 1840, dimana kaum perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
Pada awal abad 20 “Feminisme” digunakan di Amerika dan Eropa untuk mendeskripsikan elemen khusus dalam pergerakan perempuan yang menekankan pada keistimewaaan” dan perbedaan perempuan, dari pada mencari kesetaraan. Feminisme digunakan untuk mendeskripsikan tidak hanya kampanye politik untuk pemilihan umum tetapi juga hak ekonomi dan sosial, seperti  pembayaran yang setara (equal pay) sampai KB atau (birth control). Dari sekitar perang dunia I, beberapa perempuan muda meyakinkan  bahwa feminisme saja tidak cukup, kemudian mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai feminis sosialis. Kaum sosialis perempuan yang lain menentang feminisme. Mereka melihat feminisme hanya mengespresikan secara eklusif kepentingan perempuan kelas menengah dan professional.
Kaum Feminis kemudian mengembangkan konsep  gender  pada tahun 1970 sebagai alat untuk mengenali bahwa perempuan tidak dihubungkan dengan laki-laki di setiap budaya dan bahwa kedudukan perempuan di masyarakat  pada akhirnya berbeda-beda. Kemudian wacana gender diperkenalkan oleh sekelompok feminis di London pada awal tahun 1977.  Sejak itu para feminis  mengusung konsep  gender equality atau kesetaraan jender sebagai mainstream gerakan mereka.  Jender  menurut Unger adalah, “a term used to encompass the social expectations associated with feminity and msculinity.“  Para feminis berpendapat jender merupakan konstruk sosial, dan berbeda dengan “sex“ yang merujuk pada anatomi biologis.  Jender dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya,  agama, dan hukum yang berlaku di masyarakat serta  faktor-faktor lainnya.  Lips berpendapat,  jender tidak hanya terdiri dari dua jenis, yaitu  feminin dan maskulin, seperti umumnya diketahui oleh masyarakat luas. Tetapi beliau mengakui adanya jender ketiga yang bersifat cair dan bisa berubah-ubah, dan telah dikenal oleh masyarakat pada berbagai macam budaya yang berbeda. Jender ketiga ini tidak bisa dikategorikan sebagai feminin atau maskulin, tetapi mereka adalah kaum homoseksual dan transvestite (seseorang yang senang berpakaian jender lainnya).
Setelah munculnya rekomendasi dari PBB, gerakan ini berkembang sangat pesat. Perkembangan gerakan ini bisa dilihat dari kebijakkan PBB yang menunjukkan keberhasilan mereka. Sejak 1990, UNDP (United Nations Development Program) melalui laporan berkalanya (Human Development Report) telah menyiapkan indikator untuk mengukur kemajuan suatu negara. Selain pertumbuhan GDP (Growth Domestic Product) mereka menambah (Human Development Index) HDI. HDI digunakan untuk mengukur kemajuan suatu negara dengan melihat usia harapan hidup (life expectancy), angka kematian bayi (infant mortality rate), dan kecukupan pangan (food security). Sehingga inti kemajuan suatu negara adalah meningkatnya kualitas sumber daya manusia. Setelah lima tahun, UNDP menambah konsep HDI dengan kesetaraan gender (Gender Equality).
Sejak UNDP memasukkan kesetaraan gender dalam HDI, maka faktor kesetaraan gender harus selalu diikutsertakan dalam mengevaluasi keberhasilan pembangunan nasional. Perhitungan yang dipakai adalah GDI (Gender Development Index) dan GEM (Gender Empowerment Measure). Perhitungan GDI mencakup kesetaraan antara pria dan wanita dalam usia harapan hidup, pendidikan, dan jumlah pendapatan. Sedangkan perhitungan GEM mengukur kesetaraan dalam partisipasi politik dan dalam beberapa sektor yang lainnya. Ukuran ini bertitik tolak pada konsep kesetaraan sama rata.
Perkembangan gerakan feminisme juga terasa di Indonesia dengan diratifikasinya isi CEDAW sehingga keluarlah UU no. 7 tahun 1984. Setelah itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan undang-undang perlindungan anak. Selain itu, mereka juga berusaha melakukan legalisasi aborsi melalui amandemen UU kesehatan. Dalam bidang politik, feminis berada di belakang keluarnya UU pemilu tahun 2008 tentang kuota caleg perempuan sebanyak 30 persen.
1.      Upaya Pemerintah
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin semua warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama di muka hukum, menjadi acuan pokok bagi pergerakan wanita untuk memperbaiki nasib dan meningkatkan kedudukannya. Organisasi-organisasi wanita sedari dulu telah mempersoalkan nasib wanita dalam keluarga dengan adanya poligami dan perlakuan sewenang-wenang oleh suami. Organisasi-organisasi wanita secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui KOWANI mengadakan desakan kepada pemerintah agar membentuk undang-undang perkawinan itu. KOWANI sejak tahun 1930-an mengemukakan pentingnya undang-undang perkawinan yang lebih menjamin kesejahteraan keluarga. Ini juga dilakukan oleh Musyawarah Nasional untuk pekerjaan sosial tahun 1960, oleh Musyawarah Nasional Kesejahteraan Keluarga tahun 1960, oleh Konferensi Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perkawinan (BP4) Pusat tahun 1962 dan oleh Seminar Hukum Nasional tahun 1993. Setelah diperjuangkan bertahun-tahun di DPR, baru Undang-undang Perkawinan dapat disahkan pada akhir tahun 1973 dan menjadi UUP No. 1 tahun 1974. Kendati demikian, masih banyak terjadi perlakuan oleh suami yang menyebabkan penderitaan istri. Menurut hasil penelitian, masih terjadi diskriminasi terhadap wanita di segala bidang kehidupan, terutama dalam keluarga.
Di bidang perburuhan, organisasi-organisasi wanita telah memperjuangkan nasib buruh wanita sejak tahun 1930-an. Pemerintah memberi perhatian terhadap masalah ini sejak Undang-undang Kerja tahun 1948 yang secara rinci memberi perlindungan kepada tenaga kerja wanita. Akan tetapi, dalam kenyataanya juga masih banyak kejadian yang mengabaikan peraturan.
Kepedulian pemerintah terhadap tuntutan-tuntutan pergerakan wanita dibuktikan dengan disediakannya jabatan Menteri Muda Urusan Peranan Wanita pada 1978 yang kemudian ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Juga dalam GBHN tahun 1978 dicantumkan bahwa wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk ikut serta sepenuhnya dalam segala kegiatan pembanngunan. Dengan adanya kerja sama antara Menteri Negara UPW dengan depertemen-departemen lain seperti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pekerjaan Umum dan lain-lain yang masing-masing memiliki seksi Peningkatan Peran Wanita (P2W), dapat diharapkan kepentingan wanita dalam bidang pembangunan benar-benar dapat diperhatikan.
Kepedulian pemerintah terhadap pergerakan wanita juga nampak dalam pemberian subsidi secara rutin atau pada kegiatan-kegiatan wanita, misalnya kepada KOWANI. Kemudian pada 5 Agustus 1974 menggabungkan semua organisasi istri karyawan lembaga-lembaga pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah ke dalam satu organisasi besar yang dinamakan Dharma Wanita. Ini dilakukan untuk mendukunng perjuanngan dan menyukseskan pegawai Republik Indonesia sebagai Aparatur Negara dan Abdi Masyarakat dalam mengemban tugasnya untuk menyelenggarakan pemerintahan dan meleksanakan pembangunan sebagaimana tercantum dalam pembukaan Anggaran Dasarnya. Juga dimaksudkan agar pengintegrasian kegiatan organisasi istri pegawai searah dengan pelaksanaan tugas pegawai Republik Indonesia.
2.      Upaya Non Pemerintah
Gerakan wanita juga mencakup yayasan-yayasan yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang mempunyai kegiatan tertentu yang terbatas, misalnya perbaikan nasib buruh wanita atau khusus mengadakan publikasi dan dokumentasi mengenai wanita. Tujuan mereka juga meningkatkan kedudukan wanita dan menghilangkan diskriminasi dan mereka mempunyai keyakinan bahwa tujuan lebih mudah tercapai dalam kelompok kecil di mana peminatnya mempunyai hubungan yang akrab, tidak bnyak birokrasi, serta adanya pembagian pekerjaan yang luwes. Selain itu kegiatan mereka terutama di tingkat masyarakat bawah yang tidak terjangkau oleh proyek-proyek pembangunan pemerintah.
Organisasi wanita yang besar dan beranggota banyak maupun yayasan yang pesertanya terbatas adalah tergolong Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tetapi karena karena yayasan ini tidak tergantung pada bantuan pemerintah seperti KOWANI, maka yayasan itu menyebut dirinya ORNOP (organisasi non-pemerintah). Ada yang mampu membiayai sendiri kegiatan-kegiatannya, tetapi jika tidak maka banyak tergantung pada bantuan luar negeri, dari yayasan yang serupa. Di Indonesia kelompok-kelompok kecil tersebut mulai tumbuh tahun 1970 sampai dengan 1980-an dan menurut perkiraan berjumlah lebih dari 4.000 tergabung dalam satu forum kerja sama.
Cita-cita gerakan wanita juga menjelma di perguruan tinggi dalam bentuk pusat atau kelompok studi wanita, terdiri dari peminat-peminat wanitan maupun pria. Mereka mengkhususkan kegiatannya dalam mempelajari fenomena gerakan wanita sebagai gerakan sosial, mengadakan penelitian-penelitian sosial mengenai wanita, memahami dan mengembangkan teori-teori mengenai kedudukan peranan wanita. Studi wanita juga berbentuk perkuliahan, di fakultas-fakultas ilmu sosial. Di Indonesia studi wanit dimulai tahun 1979 dan banyak bermunculan di perguruan tinggi negeri dan swasta pada akhir 80-an berkat dukungan yang besar oleh Menteri Negara UPW hingga sekarang berjumlah hamper 60 buah. Adanya pusat-pusat studi wanita di universitas di Indonesia dianggap perlu karena dapat membantu pemerintah dengan mengungkapkan situasi dan kondisi wanita di berbagai daerah sehingga dapat diketahui potensi wanita (termasuk hambatan-hambatan yang dialami) untuk kepentingan nasional. Di perguruan tinggi juga ada kesempatan memperdalam secara khusus studi wanita dengan memperoleh gelar magister (S2).
Gerakan wanita juga menjelma dalam pembentukan lembaga-lembaga bantuan hukum untuk wanita dan keluarga yang ada di berbagai kota di Indonesia. Dengan demikian, gerakan wanita adalah salah satu usaha untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat dunia dan di Indonesia khususnya didukung oleh pria dan wanita dari berbagai generasi, oleh pergruruan tinggi, lembaga-lembaga pemerintahan dan swasta, bahkan oleh dunia internasional.

HAM (Hak Asasi Manusia)
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar yang dimiliki manusia yang diperoleh sejak lahir ke dunia dan merupakan kodrat dari Tuhan. Hak-hak tersebut dimiliki manusia  tanpa memandang perbedaan ras, suku, agama dan jenis kelamin. Hak-hak tersebut bersifat asasi dan universal.
HAM adalah kemerdekaan, kebebasan, dan perlindungan paling mendasar bagi setiap manusia, bersifat lintas pemerintahan dan agama, tidak berbeda baik saat perang maupun damai, serta bersifat tetap. Saat ini, kajian HAM meliputi: Hidup, kebebasan, dan keamanan, Kemerdekaan beragama, berpikir, berpolitik, melakukan gerakan, berserikat, berpendapat, dan berorganisasi, Menempuh jalur hukum, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, memiliki sesuatu, berkebudayaan, Berumah-tangga dan berkeluarga, Bebas dari diskriminasi, penghukuman yang tidak adil, tirani, dan penindasan.
Secara resmi, Hak Asasi Manusia menjadi isu internasional setelah diproklamasikannya Universal Declaration of Human Rights tanggal 10 Desember 1948 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Deklarasi tersebut telah diterjemahkan ke dalam 360 bahasa untuk keperluan sosialisasi ke seluruh penjuru dunia. Harapannya adalah pemerintah di seluruh dunia mau mempelajari dan memasukkan substansi deklarasi tersebut ke dalam sistem konstitusinya. Indonesia sendiri telah memasukkan point-point Hak Asasi Manusia di dalam Bab XA (amandemen ke-2 UUD 1945). Ini merupakan bukti keseriusan pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip HAM di dalam sistem hukum paling tingginya.

Perspektif Gender dan HAM
Sebagai seorang muslim, alangkah baiknya apabila kita mengetahui terlebih dahulu bagaimana pandangan islam mengenai gender. Al-Quran sebaga rujukan prinsip masyarakat islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptaan dari satu nafs (living entity, dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain bahkan Al-quran tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip Al-quran terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, dimana hak istri diakui sedrajat dengan hak suami. Dengan kata lain laki-laki memiliki hak dan kewajiban terhadap perempuan dan sebaliknya perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki, apalagi jika dikaitkan dengan konteks masyarakat pra islam yang ditranspormasikannya.[2]
Selain dalam hal pengambilan keputusan, juga dalam hak ekonomi, yakni untuk memiliki harta kekayaan yang tidaklah suami atau bapaknya boleh mencampuri harta kekayaan, termasuk kekayaan yang didapat dari warisan atau yang diusahakannya sendiri. Oleh sebab itu mahar dibayar oleh laki-laki untuk pihak perempuan bukan untuk orang tua dan tidak bisa diambil kembali oleh suaminya. Pada dasarnya inti ajaran setiap agama, khususnya islam adalah menganjurkan dan menegakan prinsip keadilan. Al-quran sebagai prinsip dasar atau pedoman moral tentang keadilan tersebut, yang mencangkup keadilan ekonomi, politik, kultural, termasuk keadilan gender.
Peran perempuan dan laki-laki dalam kegiatan ekonomi menunjukkan kesenjangan yang cukup lebar diberbagai sektor kegiatan. Kesenjangan gender dibidang ekonomi ini disebabkan oleh berbagai perbedaan kesempatan, akses dan kontrol terhadap sumber daya dan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini diperparah dengan berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah yang kurang sensitif dan responsif gender.
Dalam pengimplementasian pasal 11 konvensi wanita yang jelas diratifikasi berdasarakan UU No.7/1984. pasal 11 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dilapangan pekerjaan guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan yang meliputi: hak untuk bekerja , hak untuk memilih propesi, hak untuk menerima upah yang sama, hak atas jaminan sosial, hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Statistik gender dibidang ekonomi ini dapat dilihat melalui: (a) Angkatan kerja; (b) Tingkatan pengangguran dan kesempatan kerja; (c) Upah atau gaji.
Rendahnya upah perempuan disebabkan keterbatasan perempuan sebagai individu (human capital) dalam hal pendidikan, pengalaman dan keterampilan kerja, budaya serta faktor biologis. Keterkaitan perempuan pada kegiatan rumah tangga menyebabkan mereka memilih kegiatan yang ruang geraknya terbatas, berupah rendah, dan sedikit persaingan dengan pria. Untuk menerangkan konteks tersebut dapat dicermati melalui 3 prespektif[3]:
(1)     Perspektif integrasi yang beranggapnan bahwa pembangunan dapat memberi peluang kerja bagi wanita;
(2)     Perspektif marjinalisasi, mengacu pad paham bahwa pembangunan kapitalis akan menggusur wanita dari kegiatan inti ekonomi pinggiran, bahkan wanita dapat didepak keluar sam sekali dari hubungan produktif;
(3)     Perspektif eksploitasi, beranggapan bahwa ekploitasi adalah produk modernisasi yang menekankan akuulasi modal oleh para kapitalis.

Adapun solusi bagi ketidak adilan gender dalam bidang ekonomi, diantaranya:
a.       Pemberdayaan perempuan dalam pengembangan ekonomi kerakyatan;
b.      Memberi kemampuan atau keahlian khusus kepada perempuan dalam bidang kewirausahaan, guna menumbuh kembangkan usaha ekonomi produktif maupun kreatif;
c.       Peningkatan akses perempuan terhadap informasi tentang sumber daya alam, sumber dana modal, kredit dan informasi pasar;
d.      Pemantapan kemitraan usaha yang dikelola perempuan dengan swsta, BUMN, dan koperasi;
e.       Pembaharuan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan  ketenaga kerjaan agar berkesetaraan dan berkeadilan gender;
f.       Penggunaan teknologi tepat guna yang berspektif gender;
g.      Peningkatan pelayanan kesejahteraan dan perlindungan hukum bagi tenaga kerja perempuan;
h.      Penyuluhan tentang hak dan kewajiban pemberi kerja dan pekerja perempuan;
i.        Penerapan norma perlindungan hukum, perlindungan tenaga kerja, dan fungsi reproduksi pekerja perempuan;
j.        Peningkatan kualitas dan profesionalisme serta produktifitas pekerja perempuan;
k.      Peningkatan pendidikan, keterampilan dan keahlian tengaga kerja perempuan, dan banyak hal lainnya.

Selanjutnya untuk pasal 11 konvensi wanita yang telah diratifikasi melalui UU No.7/1984 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan khususnya yang berkaitan dengan perempuan sebagai tenaga kerja mengatur hal-hal sebagai berikut:
1.      Negara peserta wajib membuat peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dilapangan kerja guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan perempuan dan laki-laki khususnya: hak untuk bekerja sebagai hak asasi manusia, kesempatan kerja yang sama, memilih profesi dan pekerjaan, menerima upah yang sama, jaminan sosial, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.
2.      Untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan atas dasar perkawinan atau kehamilan dan untuk menjamin hal efektif mereka dalam bekerja, negara-negara peserta wajib membuat peraturan seperti: Untuk melarang dengan dikenakan fungsi pemacetan atas dasar kehamilan atau cuti hamil dan diskriminasi dan pemberhentian atas dasar status perkawinan.
3.      Perundang-undangan yang bersifat melindungi sehubungan dengan hal-hal yang tercakup dalam pasal ini ditinjau kembali berdasarkan pengetahua dan teknologi serta direvisi, dicabut atau diperluas menurut keperluan.

Setelah digembor-gemborkannya gender, kini tak sedikit wanita yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, dan akhirnya dapat berkarir menjadi sorang guru, dokter, bahkan bekerja di perusahaan, kantor dan menjadi seorang pebisnis. Tidak dapat dipungkiri, ini adalah suatu hal yang dapat meningkatkan perekonomian. Meskipun masih terjadi ketidakadilan gender.


[1] Dr. Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2012).
[2] Ibid., h. 7
[3] Lih. Abdullah:1997

Peran Perempuan dalam Masyarakat Tradisional

Oleh : Trisna Nurdiaman



1.      Kepercayaan dalam Budaya Tradisional terhadap Perempuan
Budaya tradisional mempunyai pandangan tersendiri terhadap perempuan, terutama di Indonesia. Perempuan sering disimbolkan sebagai bumi atau hamparan tanah. Mungkin kita juga sudah tidak asing lagi dengan istilah “ibu pertiwi”. Ibu pertiwi adalah sebutan lain bagi bumi yang berarti sama dengan Dewi Sri.[1] Bahkan dalam sebuah naskah lama, Atharvaveda menyebutkan bahwa “Perempuan datang sebagai sebidang lahan hidup dan taburkanlah benih kedalamnya, oh para laki-laki”.
Dalam masyarakat petani seperti di suku Sunda, Jawa dan Bali perempuan sangat dihormati. Masyarakat petani tradisional umumnya mempercayai Dewi Sri sebagai sumber kehidupan. Dewi Sri diasosiasikan sebagai simbol padi. Ia dipandang sebagai salah satu Dewa yang mengisi biji padi dan kemudian menjadi beras. Oleh karena itulah terdapat kepercayaan dalam masyarakat petani tradisional tentang pantangan menyia-nyiakan beras, karena hal tersebut berarti menyepelekan Dewi Sri.
Di sebagian petani Jember dan Ponorogo Jawa Timur, dalam upacara kebo-keboan laki-laki dipersonifikasikan sebagai kerbau yang akan selalu mengolah kesuburan yang disimbolkan oleh perempuan. Biasanya dalam setiap upacara yang berpautan dengan proses produksi padi, Dewi Sri sering ditampilkan sebagai figur sentral. Dewi Sri dianggap sangat penting, terhormat, dipuja, dielu-elukan dan dikeramatkan. Sesaji, mantra-mantra, dan persembahan yang lainnya selalu hadir mengikuti proses produksi padi baik sejak menanam benih, ketika padi sedang hamil dan sesudah panen.
Dalam mitologi Masyarakat Sunda, Dewi Sri lahir dari sebutir telur yang berasal dari titik airmata Dewa Anta yang menangis sedih karena tidak dapat berpartisipasi dalam mendirikan Balai Pertemuan para Dewa. Karena kecantikan Sri yang tidak tertandingi, Bethara Guru jatuh cinta dan ingin mengawininya tetapi dapat digagalkan oleh dewa yang lain dengan cara membunuh Sri dan menguburnya di bumi. Beberapa hari kemudian dari kuburan Sri tumbuh kelapa (dari kepalanya), padi biasa dari (dari matanya), padi ketan (dari dadanya), pohon enau (dari kemaluannya) dan rerumputan dari bagian yang lain.[2]
Simbolisasi perempuan sebagai bumi sebenarnya hampir terjadi diseluruh masyarakat dunia. Relasi bumi-peremuan yang sama-sama menjadi objek eksploitasi ini dapat dilacak, misalnya dari berbagai mitos, legenda, dan pendapat yang mensimbolisasikan bumi sebagai ibu dan perempuan. Misalnya seperti Jalaludin Rumi dalam Mastnawi yang melukiskan bumi sebagai perempuan. Kemudian paradigma Taoisme di Cina yang melukiskan bumi sebagai “yin” (perempuan, feminim).[3] Dalam pandangan Francis Bacon, tujuan sains adalah untuk menguasai, mengendalikan dan menaklukan alam. Menurutnya alam harus diburu dalam pengembaraannya, diikat dalam pelayanan, dan dijadikan budak. Pada akhirnya, baik bumi maupun perempuan sama-sama menjadi objek eksploitasi. Oleh karena itu munculah gerakan eko-feminis yang mencoba mendefinisikan kembali makna kesucian, serta mensakralisasikan ulang bumi, manusia dan kehidupan sehari-hari.

2.      Pembagian Kerja dalam Masyarakat Tradisional
Beberapa literatur terkadang menyimpulkan secara tidak tepat tentang peranan perempuan yang selalu berkutat di wilayah domestik.[4] Pernyataan tersebut tidak sesuai dengan fakta empiris yang ada dimasyarakat. Tidak hanya dalam masyarakat modern, dalam masyarakat tradisional pun sebenarnya perempuan sudah dilibatkan untuk ikut membantu pekerjaan laki-laki di wilayah publik, terutama dalam masyarakat petani. Dalam proses produksi padi biasanya laki-laki bertugas sebagai pengolah tanah (mencangkul) dan penabur benih, sementara perempuan bertugas sebagai penanam padi dan pemeliahara kelangsungan padi tersebut. Pembagian kerja tersebut sebenarnya berkaitan dengan mitos Dewi Sri tentang asal usul padi.
Hal yang hampir senada juga dinyatakan oleh Ester Boserup. Ia menolak generalisasi Margaret Mead (Antropolog) yang menyimpulkan bahwa dalam setiap masyarakat pekerjaan di wilayah domestik selalu dimonopoli oleh perempuan, sementara peran produktif merupakan hak prerogratif laki-laki. Generalisasi tersebut menurutnya bersifat spekulatif dan meragukan. Pada hakekatnya dapat diadakan pembedaan penting antara dua jenis pola pertanian untuk konsumsi sendiri (subsistensi), yaitu produksi bahan makanan oleh wanita (female farming system) dan produksi bahan makanan oleh pria (male farming system).[5] Dalam female farming, perempuan bekerja lebih banyak dan laki-laki hanya sekedar membantu sedikit. Sementara dalam male farming laki-laki bekerja lebih banyak dan tugas perempuan hanya sekedar membantu saja.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ester Boserup, di Afrika wanita lebih banyak bekerja di ladang dari pada pria. Di Amerika Latin dan Di Asia Barat, bagian terbesar pekerjaan bertani dilakukan oleh laki-laki. Sementara pembagian kerja pertanian di Asia Tenggara relatif seimbang.
Pada banyak suku-suku Afrika, hampir semua tugas yang berhubungan dengan produksi bahan makanan tetap diserahkan kepada kaum wanita.[6] Kebanyakan suku-suku tersebut menjalankan sistem pertanian berpindah-pindah (shifting cultivation). Ketika kesuburan tanah mulai berkurang, maka mereka akan berpindah ke area lain yang lebih subur. Untuk membuka lahan baru, laki-laki bertugas menebang pohon-ponon, dan membersihkan semak belukar. Selebihnya pekerjaan dibebankan kepada wanita.  Perkerjaan yang dibebankan kepada wanita tersebut meliputi pembuangan serta pembakaran tebangan pohon, pembenihan dan penanaman dalam abunya, penyiangan, memanen serta mengangkutnya ke lumbung. Pekerjaan pria meliputi penebangan pohon, berburu dan berperang. Namun, lambat laun penebangan pohon dan perburuan berkurang dan peperangan dicegah oleh kolonialis Eropa. Orang-orang Eropa yang terbiasa dengan sistem pertanian oleh pria merasa heran dengan pembagian kerja tersebut, sehingga mereka memandang pria Afrika sebagai pemalas.



[1] Bisri Effendy & Novi Anoegrajekti, Perempuan dalam Ritual. (Jakarta: Srinthil, 2004) h. 26
[2] Ibid., h. 10
[3] Sukidi, Jurnal Perempuan : Spiritualitas Feminis dalam Gerakan New Age. (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2001), h. 8
[4] Aida Vitayala S. Hubeis menyebutkan bahwa peranan perempuan Indonesia adalah seorang istri, ibu rumah tangga dan seorang ibu rumah tangga. Ketiganya sama-sama berada diwilayah domestik. Ibid.,  h. 91
[5] Ester Boserup, Peranan Wanita dalam Perkembangan Ekonomi. Terjemahan Mien Joebhar & Sunato. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), h. 4
[6] Ibid., h. 5