Gender.
mungkin kita sudah tidak asing dengan istilah ini. Istilah gender sering
diartikan sebagai sebuah kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Untuk memahami konsep gender, harus dibedakan
kata gender dengan kata sex (jenis kelamin). Definisi jenis
kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Secara
permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan
sebagai ketentuan tuhan (kodrat).
Menurut
World Health Organization (WHO) tahun 2012, gender diartikan sebagai
seperangkat peran, perilaku, kegiatan dan atribut yang dianggap layak bagi
laki-laki dan perempuan. Gender mengacu pada peran yang dikonstruksikan
masyarakat dan perilaku-perilaku yang dipelajari serta harapan-harapan yang dikaitkan
pada perempuan dan pada laki-laki. Seperti ras, suku, maupun kelas.
Pembahasan
tentang sejarah dan perkembangan gender tidak bisa terlepas dari sejarah
pergerakan kaum feminisme di Barat. Kata feminis pertama kali ditemukan pada
awal ke-19 oleh seorang sosialis berkebangsaan Perancis, yaitu Charles Fourier.
Terdapat perbedaan pendapat antara ilmuan tentang sejarah munculnya istilah
feminisme. Istilah Feminisme berasal dari bahasa Latin Femina (perempuan).
Istilah
feminis sebagai nama suatu pergerakan aktivis perempuan dalam memperjuangkan
hak mereka bukanlah yang pertama dalam tatanan bahasa. Sebelum istilah ini
muncul, kata-kata seperti womanism, the woman movement, atau woman question
telah digunakan terlebih dahulu. Seiring berkembangnya gerakan kelompok
feminisme ini, istilah-istilah di atas berubah menjadi feminisme hingga
sekarang.
Gerakan
feminisme berkembang dengan baik tidak hanya di Barat tetapi juga di
Negara-negara timur. Salah satu faktor yang mendorong cepatnya gerakan
femenisme adalah gerakan ini menjadi gelombang akademik di
universitas-universitas, melalui progam women studies. Bahkan gerakan ini mampu
menyentuh bidang politik dimana gerakan perempuan ini telah mendapat “restu”
dari perserikatan Bangsa-bangsa dengan dikeluarkannya CEDAW (Convention on the
Eliminating of All Farms of Discriminating Against Women).
Dua
feminis yang terkemuka, Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton, pada tahun
1848 mengorganisir pertemuan akbar Konvensi Hak-Hak Perempuan di Seneca
Falls yang dihadiri oleh 300 peserta
laki-laki dan perempuan. Pertemuan itu kemudian menghasilkan deklarasi yang menuntut reformasi hukum-hukum
perkawinan, perceraian, properti dan
anak. Di dalam deklarasi tersebut mereka memberi penekanan kepada hak
perempuan untuk berbicara dan
berpendapat di dunia publik. Konvensi di Seneca Falls merupakan bentuk protes
kaum perempuan terhadap pertemuan akbar konvensi penghapusan perbudakan sedunia
pada taun 1840, dimana kaum perempuan tidak diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapatnya.
Pada
awal abad 20 “Feminisme” digunakan di Amerika dan Eropa untuk mendeskripsikan
elemen khusus dalam pergerakan perempuan yang menekankan pada keistimewaaan”
dan perbedaan perempuan, dari pada mencari kesetaraan. Feminisme digunakan
untuk mendeskripsikan tidak hanya kampanye politik untuk pemilihan umum tetapi
juga hak ekonomi dan sosial, seperti
pembayaran yang setara (equal pay) sampai KB atau (birth control). Dari
sekitar perang dunia I, beberapa perempuan muda meyakinkan bahwa feminisme saja tidak cukup, kemudian
mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai feminis sosialis. Kaum sosialis
perempuan yang lain menentang feminisme. Mereka melihat feminisme hanya
mengespresikan secara eklusif kepentingan perempuan kelas menengah dan
professional.
Kaum
Feminis kemudian mengembangkan konsep
gender pada tahun 1970 sebagai
alat untuk mengenali bahwa perempuan tidak dihubungkan dengan laki-laki di
setiap budaya dan bahwa kedudukan perempuan di masyarakat pada akhirnya berbeda-beda. Kemudian wacana
gender diperkenalkan oleh sekelompok feminis di London pada awal tahun
1977. Sejak itu para feminis mengusung konsep gender equality atau kesetaraan jender
sebagai mainstream gerakan mereka.
Jender menurut Unger adalah, “a
term used to encompass the social expectations associated with feminity and
msculinity.“ Para feminis berpendapat
jender merupakan konstruk sosial, dan berbeda dengan “sex“ yang merujuk pada
anatomi biologis. Jender dipengaruhi
oleh kondisi sosial-budaya, agama, dan
hukum yang berlaku di masyarakat serta
faktor-faktor lainnya. Lips
berpendapat, jender tidak hanya terdiri
dari dua jenis, yaitu feminin dan
maskulin, seperti umumnya diketahui oleh masyarakat luas. Tetapi beliau
mengakui adanya jender ketiga yang bersifat cair dan bisa berubah-ubah, dan
telah dikenal oleh masyarakat pada berbagai macam budaya yang berbeda. Jender
ketiga ini tidak bisa dikategorikan sebagai feminin atau maskulin, tetapi
mereka adalah kaum homoseksual dan transvestite (seseorang yang senang
berpakaian jender lainnya).
Setelah
munculnya rekomendasi dari PBB, gerakan ini berkembang sangat pesat.
Perkembangan gerakan ini bisa dilihat dari kebijakkan PBB yang menunjukkan
keberhasilan mereka. Sejak 1990, UNDP (United Nations Development Program)
melalui laporan berkalanya (Human Development Report) telah menyiapkan
indikator untuk mengukur kemajuan suatu negara. Selain pertumbuhan GDP (Growth
Domestic Product) mereka menambah (Human Development Index) HDI. HDI digunakan
untuk mengukur kemajuan suatu negara dengan melihat usia harapan hidup (life
expectancy), angka kematian bayi (infant mortality rate), dan kecukupan pangan
(food security). Sehingga inti kemajuan suatu negara adalah meningkatnya
kualitas sumber daya manusia. Setelah lima tahun, UNDP menambah konsep HDI
dengan kesetaraan gender (Gender Equality).
Sejak
UNDP memasukkan kesetaraan gender dalam HDI, maka faktor kesetaraan gender
harus selalu diikutsertakan dalam mengevaluasi keberhasilan pembangunan
nasional. Perhitungan yang dipakai adalah GDI (Gender Development Index) dan
GEM (Gender Empowerment Measure). Perhitungan GDI mencakup kesetaraan antara
pria dan wanita dalam usia harapan hidup, pendidikan, dan jumlah pendapatan.
Sedangkan perhitungan GEM mengukur kesetaraan dalam partisipasi politik dan
dalam beberapa sektor yang lainnya. Ukuran ini bertitik tolak pada konsep
kesetaraan sama rata.
Perkembangan
gerakan feminisme juga terasa di Indonesia dengan diratifikasinya isi CEDAW
sehingga keluarlah UU no. 7 tahun 1984. Setelah itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan
undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga) dan undang-undang perlindungan anak. Selain itu, mereka juga
berusaha melakukan legalisasi aborsi melalui amandemen UU kesehatan. Dalam
bidang politik, feminis berada di belakang keluarnya UU pemilu tahun 2008
tentang kuota caleg perempuan sebanyak 30 persen.
1. Upaya
Pemerintah
Undang-Undang
Dasar 1945 yang menjamin semua warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang
sama di muka hukum, menjadi acuan pokok bagi pergerakan wanita untuk
memperbaiki nasib dan meningkatkan kedudukannya. Organisasi-organisasi wanita
sedari dulu telah mempersoalkan nasib wanita dalam keluarga dengan adanya
poligami dan perlakuan sewenang-wenang oleh suami. Organisasi-organisasi wanita
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui KOWANI mengadakan desakan
kepada pemerintah agar membentuk undang-undang perkawinan itu. KOWANI sejak
tahun 1930-an mengemukakan pentingnya undang-undang perkawinan yang lebih
menjamin kesejahteraan keluarga. Ini juga dilakukan oleh Musyawarah Nasional
untuk pekerjaan sosial tahun 1960, oleh Musyawarah Nasional Kesejahteraan
Keluarga tahun 1960, oleh Konferensi Badan Penasihat Perkawinan dan
Penyelesaian Perkawinan (BP4) Pusat tahun 1962 dan oleh Seminar Hukum Nasional
tahun 1993. Setelah diperjuangkan bertahun-tahun di DPR, baru Undang-undang
Perkawinan dapat disahkan pada akhir tahun 1973 dan menjadi UUP No. 1 tahun
1974. Kendati demikian, masih banyak terjadi perlakuan oleh suami yang
menyebabkan penderitaan istri. Menurut hasil penelitian, masih terjadi
diskriminasi terhadap wanita di segala bidang kehidupan, terutama dalam
keluarga.
Di
bidang perburuhan, organisasi-organisasi wanita telah memperjuangkan nasib
buruh wanita sejak tahun 1930-an. Pemerintah memberi perhatian terhadap masalah
ini sejak Undang-undang Kerja tahun 1948 yang secara rinci memberi perlindungan
kepada tenaga kerja wanita. Akan tetapi, dalam kenyataanya juga masih banyak
kejadian yang mengabaikan peraturan.
Kepedulian
pemerintah terhadap tuntutan-tuntutan pergerakan wanita dibuktikan dengan
disediakannya jabatan Menteri Muda Urusan Peranan Wanita pada 1978 yang
kemudian ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Juga dalam
GBHN tahun 1978 dicantumkan bahwa wanita mempunyai hak, kewajiban dan
kesempatan yang sama dengan pria untuk ikut serta sepenuhnya dalam segala
kegiatan pembanngunan. Dengan adanya kerja sama antara Menteri Negara UPW
dengan depertemen-departemen lain seperti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Departemen Pekerjaan Umum dan lain-lain yang masing-masing memiliki seksi
Peningkatan Peran Wanita (P2W), dapat diharapkan kepentingan wanita dalam
bidang pembangunan benar-benar dapat diperhatikan.
Kepedulian
pemerintah terhadap pergerakan wanita juga nampak dalam pemberian subsidi
secara rutin atau pada kegiatan-kegiatan wanita, misalnya kepada KOWANI.
Kemudian pada 5 Agustus 1974 menggabungkan semua organisasi istri karyawan
lembaga-lembaga pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah ke dalam satu
organisasi besar yang dinamakan Dharma Wanita. Ini dilakukan untuk mendukunng
perjuanngan dan menyukseskan pegawai Republik Indonesia sebagai Aparatur Negara
dan Abdi Masyarakat dalam mengemban tugasnya untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan meleksanakan pembangunan sebagaimana tercantum dalam pembukaan
Anggaran Dasarnya. Juga dimaksudkan agar pengintegrasian kegiatan organisasi
istri pegawai searah dengan pelaksanaan tugas pegawai Republik Indonesia.
2. Upaya
Non Pemerintah
Gerakan
wanita juga mencakup yayasan-yayasan yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil
yang mempunyai kegiatan tertentu yang terbatas, misalnya perbaikan nasib buruh
wanita atau khusus mengadakan publikasi dan dokumentasi mengenai wanita. Tujuan
mereka juga meningkatkan kedudukan wanita dan menghilangkan diskriminasi dan
mereka mempunyai keyakinan bahwa tujuan lebih mudah tercapai dalam kelompok
kecil di mana peminatnya mempunyai hubungan yang akrab, tidak bnyak birokrasi,
serta adanya pembagian pekerjaan yang luwes. Selain itu kegiatan mereka
terutama di tingkat masyarakat bawah yang tidak terjangkau oleh proyek-proyek
pembangunan pemerintah.
Organisasi
wanita yang besar dan beranggota banyak maupun yayasan yang pesertanya terbatas
adalah tergolong Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), tetapi karena karena yayasan
ini tidak tergantung pada bantuan pemerintah seperti KOWANI, maka yayasan itu
menyebut dirinya ORNOP (organisasi non-pemerintah). Ada yang mampu membiayai
sendiri kegiatan-kegiatannya, tetapi jika tidak maka banyak tergantung pada bantuan
luar negeri, dari yayasan yang serupa. Di Indonesia kelompok-kelompok kecil
tersebut mulai tumbuh tahun 1970 sampai dengan 1980-an dan menurut perkiraan
berjumlah lebih dari 4.000 tergabung dalam satu forum kerja sama.
Cita-cita
gerakan wanita juga menjelma di perguruan tinggi dalam bentuk pusat atau
kelompok studi wanita, terdiri dari peminat-peminat wanitan maupun pria. Mereka
mengkhususkan kegiatannya dalam mempelajari fenomena gerakan wanita sebagai
gerakan sosial, mengadakan penelitian-penelitian sosial mengenai wanita,
memahami dan mengembangkan teori-teori mengenai kedudukan peranan wanita. Studi
wanita juga berbentuk perkuliahan, di fakultas-fakultas ilmu sosial. Di
Indonesia studi wanit dimulai tahun 1979 dan banyak bermunculan di perguruan tinggi
negeri dan swasta pada akhir 80-an berkat dukungan yang besar oleh Menteri
Negara UPW hingga sekarang berjumlah hamper 60 buah. Adanya pusat-pusat studi
wanita di universitas di Indonesia dianggap perlu karena dapat membantu
pemerintah dengan mengungkapkan situasi dan kondisi wanita di berbagai daerah
sehingga dapat diketahui potensi wanita (termasuk hambatan-hambatan yang
dialami) untuk kepentingan nasional. Di perguruan tinggi juga ada kesempatan
memperdalam secara khusus studi wanita dengan memperoleh gelar magister (S2).
Gerakan
wanita juga menjelma dalam pembentukan lembaga-lembaga bantuan hukum untuk
wanita dan keluarga yang ada di berbagai kota di Indonesia. Dengan demikian,
gerakan wanita adalah salah satu usaha untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan
dalam masyarakat dunia dan di Indonesia khususnya didukung oleh pria dan wanita
dari berbagai generasi, oleh pergruruan tinggi, lembaga-lembaga pemerintahan
dan swasta, bahkan oleh dunia internasional.
HAM (Hak Asasi Manusia)
Hak
Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar yang dimiliki manusia yang diperoleh sejak
lahir ke dunia dan merupakan kodrat dari Tuhan. Hak-hak tersebut dimiliki
manusia tanpa memandang perbedaan ras,
suku, agama dan jenis kelamin. Hak-hak tersebut bersifat asasi dan universal.
HAM
adalah kemerdekaan, kebebasan, dan perlindungan paling mendasar bagi setiap
manusia, bersifat lintas pemerintahan dan agama, tidak berbeda baik saat perang
maupun damai, serta bersifat tetap. Saat ini, kajian HAM meliputi: Hidup,
kebebasan, dan keamanan, Kemerdekaan beragama, berpikir, berpolitik, melakukan
gerakan, berserikat, berpendapat, dan berorganisasi, Menempuh jalur hukum,
pendidikan, pekerjaan, kesehatan, memiliki sesuatu, berkebudayaan,
Berumah-tangga dan berkeluarga, Bebas dari diskriminasi, penghukuman yang tidak
adil, tirani, dan penindasan.
Secara
resmi, Hak Asasi Manusia menjadi isu internasional setelah diproklamasikannya
Universal Declaration of Human Rights tanggal 10 Desember 1948 oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Deklarasi tersebut telah diterjemahkan ke
dalam 360 bahasa untuk keperluan sosialisasi ke seluruh penjuru dunia.
Harapannya adalah pemerintah di seluruh dunia mau mempelajari dan memasukkan
substansi deklarasi tersebut ke dalam sistem konstitusinya. Indonesia sendiri
telah memasukkan point-point Hak Asasi Manusia di dalam Bab XA (amandemen ke-2
UUD 1945). Ini merupakan bukti keseriusan pemerintah Indonesia untuk
mengimplementasikan prinsip-prinsip HAM di dalam sistem hukum paling tingginya.
Perspektif Gender dan HAM
Sebagai
seorang muslim, alangkah baiknya apabila kita mengetahui terlebih dahulu
bagaimana pandangan islam mengenai gender. Al-Quran sebaga rujukan prinsip masyarakat islam, pada dasarnya
mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya
diciptaan dari satu nafs (living entity, dimana
yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain bahkan Al-quran tidak
menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam
sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip Al-quran
terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, dimana hak istri diakui
sedrajat dengan hak suami. Dengan kata lain laki-laki memiliki hak dan
kewajiban terhadap perempuan dan sebaliknya perempuan juga memiliki hak dan
kewajiban terhadap laki-laki, apalagi jika dikaitkan dengan konteks masyarakat
pra islam yang ditranspormasikannya.
Selain dalam hal pengambilan keputusan, juga
dalam hak ekonomi, yakni untuk memiliki harta kekayaan yang tidaklah suami atau
bapaknya boleh mencampuri harta kekayaan, termasuk kekayaan yang didapat dari
warisan atau yang diusahakannya sendiri. Oleh sebab itu mahar dibayar oleh laki-laki untuk pihak perempuan bukan untuk
orang tua dan tidak bisa diambil kembali oleh suaminya. Pada dasarnya inti
ajaran setiap agama, khususnya islam adalah menganjurkan dan menegakan prinsip
keadilan. Al-quran sebagai prinsip dasar atau pedoman moral tentang keadilan
tersebut, yang mencangkup keadilan ekonomi, politik, kultural, termasuk
keadilan gender.
Peran
perempuan dan laki-laki dalam kegiatan ekonomi menunjukkan kesenjangan yang
cukup lebar diberbagai sektor kegiatan. Kesenjangan gender dibidang ekonomi ini
disebabkan oleh berbagai perbedaan kesempatan, akses dan kontrol terhadap
sumber daya dan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini
diperparah dengan berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah yang kurang
sensitif dan responsif gender.
Dalam pengimplementasian
pasal 11 konvensi wanita yang jelas diratifikasi berdasarakan UU No.7/1984.
pasal 11 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dilapangan
pekerjaan guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki
dan perempuan yang meliputi: hak untuk bekerja , hak untuk memilih propesi, hak
untuk menerima upah yang sama, hak atas jaminan sosial, hak atas perlindungan
kesehatan dan keselamatan kerja. Statistik gender dibidang ekonomi ini dapat dilihat melalui: (a) Angkatan kerja; (b) Tingkatan
pengangguran dan kesempatan kerja; (c) Upah
atau gaji.
Rendahnya upah perempuan disebabkan keterbatasan perempuan sebagai
individu (human capital) dalam hal
pendidikan, pengalaman dan keterampilan kerja, budaya serta faktor
biologis. Keterkaitan perempuan pada kegiatan rumah tangga
menyebabkan mereka memilih kegiatan yang ruang geraknya terbatas, berupah
rendah, dan sedikit persaingan dengan pria. Untuk
menerangkan konteks tersebut dapat dicermati melalui 3 prespektif:
(1) Perspektif
integrasi yang beranggapnan bahwa pembangunan dapat memberi peluang kerja bagi
wanita;
(2) Perspektif
marjinalisasi, mengacu pad paham bahwa pembangunan kapitalis akan menggusur
wanita dari kegiatan inti ekonomi pinggiran, bahkan wanita dapat didepak keluar
sam sekali dari hubungan produktif;
(3) Perspektif
eksploitasi, beranggapan bahwa ekploitasi adalah produk modernisasi yang
menekankan akuulasi modal oleh para kapitalis.
Adapun solusi bagi ketidak adilan gender dalam bidang
ekonomi, diantaranya:
a. Pemberdayaan
perempuan dalam pengembangan ekonomi kerakyatan;
b. Memberi kemampuan atau keahlian khusus kepada perempuan dalam bidang kewirausahaan, guna menumbuh
kembangkan usaha ekonomi produktif maupun kreatif;
c. Peningkatan
akses perempuan terhadap informasi tentang sumber daya alam, sumber dana modal,
kredit dan informasi pasar;
d. Pemantapan
kemitraan usaha yang dikelola perempuan dengan swsta, BUMN, dan koperasi;
e. Pembaharuan
dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan ketenaga kerjaan agar
berkesetaraan dan berkeadilan gender;
f. Penggunaan
teknologi tepat guna yang berspektif gender;
g. Peningkatan
pelayanan kesejahteraan dan perlindungan hukum bagi tenaga kerja perempuan;
h. Penyuluhan
tentang hak dan kewajiban pemberi kerja dan pekerja perempuan;
i.
Penerapan norma perlindungan hukum, perlindungan
tenaga kerja, dan fungsi reproduksi pekerja perempuan;
j.
Peningkatan kualitas dan profesionalisme serta produktifitas
pekerja perempuan;
k. Peningkatan
pendidikan, keterampilan dan keahlian tengaga kerja perempuan, dan banyak hal lainnya.
Selanjutnya untuk pasal 11 konvensi wanita yang telah diratifikasi
melalui UU No.7/1984 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan
khususnya yang berkaitan dengan perempuan sebagai tenaga kerja mengatur hal-hal
sebagai berikut:
1.
Negara peserta wajib membuat peraturan yang tepat
untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dilapangan kerja guna menjamin
hak-hak yang sama atas dasar persamaan perempuan dan laki-laki khususnya: hak
untuk bekerja sebagai hak asasi manusia, kesempatan kerja yang sama, memilih
profesi dan pekerjaan, menerima upah yang sama, jaminan sosial, perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.
2.
Untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan
atas dasar perkawinan atau kehamilan dan untuk menjamin hal efektif mereka
dalam bekerja, negara-negara peserta wajib membuat peraturan seperti: Untuk
melarang dengan dikenakan fungsi pemacetan atas dasar kehamilan atau cuti hamil
dan diskriminasi dan pemberhentian atas dasar status perkawinan.
3.
Perundang-undangan yang bersifat melindungi
sehubungan dengan hal-hal yang tercakup dalam pasal ini ditinjau kembali
berdasarkan pengetahua dan teknologi serta direvisi, dicabut atau diperluas
menurut keperluan.
Setelah digembor-gemborkannya gender, kini tak sedikit
wanita yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, dan akhirnya dapat
berkarir menjadi sorang guru, dokter, bahkan bekerja di perusahaan, kantor dan
menjadi seorang pebisnis. Tidak dapat dipungkiri, ini adalah suatu hal yang
dapat meningkatkan perekonomian. Meskipun masih terjadi ketidakadilan gender.